Senin, 14 Mei 2012

SALAFY MURJIAH

Antara Flu Burung Dan Flu Murji’ah I
ANTARA ‘FLU’ BURUNG DAN ‘FLU’ MURJI’AH
Muqaddimah
Tulisan ini merupakan salah satu koreksi atas khutbah kedua dalam shalat Jum’at yang
disampaikan oleh seorang ustadz salafi maz’um di salah satu masjid yang ada di daerah Bekasi.
Jika saya ringkas syubhat yang disampaikannya adalah sebagai berikut: Tidak utuh dalam
menyampaikan hadits, secara tidak langsung membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah
dan rasulNya, boleh pedoman dengan selain pedoman nabi saw, menjadikan DR. Khalid al
Anbari sebagai rujukan, menasehati penguasa harus dengan sembunyi-sembunyi dan lain
sebagainya.
1. Tidak utuh dalam membawakan hadits dan pemahamannya
a . Hadits tentang:
ﻥﺇﻭ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﺮــﻣﺄﺗ ﺪﺒﻋ ﻲﺸﺒﺣ
“Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya”
Sang Ustadz dalam menyampaikan hadits hanya berhenti pada kalimat tersebut. Padahal hadits
itu masih ada lanjutan meskipun harus melihat dalam redaksi yang lain. Karena antara satu
hadits dengan yang lainnya saling berkaitan. Coba perhatikan hadits berikut:
ْﻥِﺇ َﺮِّﻣُﺃ ٌﺪْﺒَﻋ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ٌﻉَّﺪَﺠُﻣ ﺎَﻬُﺘْﺒِﺴَﺣ ْﺖَﻟﺎَﻗ ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ُﺩَﻮْﺳَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ﺍﻮُﻌَﻤْﺳﺎَﻓ ُﻪَﻟ ﺍﻮُﻌﻴِﻃَﺃَﻭ
“Selama dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi
Ma’shiyah Wal Imam Junnah.
Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit
perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:
ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ .
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi ﺎﻣ ﻡﺎﻗﺃ ﻢﻜﻟ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ (selama mereka menegakan
kitab Allah).
Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama
menegakan hukumNya juga mencakup Sunah nabiNya”.
Dalam hadits tersebut; syarat pemimpin yang ingin dita’ati adalah pemimpin yang menegakan
hukum Allah.
Dalam Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Pada dasarnya, Imam dibae’at agar melakukan yang haq,
menegakan hudud, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar” .
Dalam Syarhnya, Imam Nawawi berkata: “Al Qadhi berkata; Jika imam melakukan kekufuran,
merubah syari’at atau melakukan bid’ah maka ia telah keluar dari statusnya sebagai pemimpin
dan haknya untuk dita’ati telah gugur. Wajib bagi kaum muslim berusaha untuk mencopot dan
menggantinya dengan pemimpin yang adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka… Dan tidak
wajib mencopot (pemimpin) pelaku bid’ah kecuali jika mereka mampu. Akan tetapi jika tidak
mampu maka tidak wajib mencopotnya”.
Para ulama lain menyatakan yang dimaksud kalimat tersebut adalah; memimpin rakyatnya di
atas Islam, bangga dengan Al Quran, tidak murtad, tidak menolak sunnah, menjadikan agama
resmi negara adalah Islam dan sumber hukumnya adalah Syariat Islam .
Jadi jelas, hadits ini tidak seperti yang difahami sang khatib, boleh menyelisihi Nabi saw secara
total baik dalam masalah pemilihannya, pengaturannya, hukumnya dan lain sebagainya. Karena
hal tersebut bisa masuk dalam katagori kafir.
Para ulama ketika menjelaskan tentang permasalahan ini baik Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn
Taimiyah dan ulama lainnya; Mereka menyatakan tidak boleh orang kafir dengan kekufuran yang
nyata menguasai Umat Islam. Jika penguasa tersebut kafir, maka umat pun tidak wajib ta’at .
Bahkan wajib bagi Umat Islam dalam hal ini adalah Ahlul Hall Wal ‘Aqd mencopot dan
mengganti pemimpin tersebut .
Bahkan jika jelas terlihat kekafirannya, para ulama pun sepakat membolehkan melawan
penguasa tersebut dengan tetap melihat maslahat dan madharat serta kemampuan yang
dimiliki umat.
Ust. Yazid Jawas sendiri menyatakan; Ahlus Sunnah Melarang Memberontak Kepada
Pemerintah…Hal ini berlaku bagi pemimpin Muslim yang berbuat zalim dan aniaya, yang masih
menggunakan syariat Nabi saw . Namun apabila pemimpin itu telah kafir maka boleh
memberontak kepadanya dengan syarat-syarat yang ada pada pembahasan selanjutnya” .
Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, Rasul saw bersabda: “Akan muncul kepada kalian para
penguasa yang memerintahkan kepada kalian sesuatu yang tidak kalian kenali, mengerjakan
perbuatan yang kalian ingkari. Maka tidak ada kewajiban atas kalian menta’ati mereka.
Ibn Abbas berkata; Ada tiga ayat yang masing-masing mengandung dua komponen antara yang
satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Salah satunya adalah ayat yang berbunyi; ﺍﻮﻌﻴﻃﺃ ﻪﻠﻟﺍ
ﺍﻮﻌﻴﻃﺃﻭ ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ (ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul).
Membolehkan menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya adalah bertentangan dengan banyak dalil
baik dari Al Qur’an, Sunnah, maupun pendapat ulama. Bertentangan juga dengan tauhid uluhiyah
dan iqrar seseorang bahwa ia rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Rasul saw
sebagai nabi.
Diantara hakikat tauhid uluhiyah adalah Mengesakan Allah dalam beribadah, berlepas diri dari
seluruh sesembahan selain Allah, tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal dan
berhukum kecuali kepada Allah, tidak mengambil petunjuk (pedoman) kecuali yang bersumber
dari Allah, tidak beramal kecuali untuk Allah, tidak mencintai dan memusuhi kecuali karena Allah.
b. Tentang Hadits
ﻥﻮﻜﻴﺳ ﻦﻣ ﻱﺪﻌﺑ ﺔﻤﺋﺃ ﻻ ،ﻱﺍﺪﻬﺑ ﻥﻭﺪﺘﻬﻳ ﻻﻭ ﻥﻮﻨﺘﺴﻳ ﻡﻮﻘﻴﺳﻭ ،ﻲﺘﻨﺴﺑ ﻢﻬﻴﻓ ﻝﺎﺟﺭ ﺏﻮﻠﻗ ﻢﻬﺑﻮﻠﻗ
ﻦﻴﻃﺎﻴﺸﻟﺍ ﻲﻓ ﻥﺎﻤﺜﺟ ،ﺲﻧﺃ ﻝﺎﻗ :ﺔﻔﻳﺬﺣ :ﺖﻠﻗ ﻒﻴﻛ ﻊﻨﺻﺃ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﺖﻛﺭﺩﺃ ﻥﺃ ﻪﻠﻟﺍ ؟ﻚﻟﺫ ﻊﻤﺴﺗ :ﻝﺎﻗ ﻊﻴﻄﺗﻭ
،ﺮﻴﻣﻷﺍ ﻥﺇﻭ ﻙﺮﻬﻇ ﺏﺮﺿ ﺬﺧﺃﻭ ﻊﻃﺃﻭ ﻊﻤﺳﺎﻓ ﻚﻟﺎﻣ .
Dengan dalih hadits ini, sang khatib menyatakan; inilah dalil yang menunjukan wajibnya taat
kepada penguasa meskipun mereka tidak menggunakan pedoman dan sunnah Sabi saw dalam
perkara apa saja; pemilihannya, aturan atau hukumnya dan lain sebagainya.
Sebelum menjelaskan hadits tersebut secara ringkas, di sini perlu disampaikan sebagian
komentar para ulama:
1) Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut sanadnya terputus. Karena salah seorang
rawinya yang bernama Abu Salam Mamthur Al habasyi Ad Dimasyqi tidak mendengar dari
sahabat Abu Hudzaifah. Maka haditsnya dari Hudzaifah adalah mursal.
Ibn Hajar dalam kitab ‘Tahdzib at Tahdzib 10/296 menyatakan; Abu Salam melakukan irsal dari
Hudzaifah, Abu Dzarr dan dari selain keduanya’.
Dalam mengomentari hadits tersebut Fuad Abdul Baqi berkata: “Dia tidak mendengar dari
Hudzaifah”.
Dalam menjelaskan Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata: “Hadits ini mursal, meskipun
matannya benar sesuai dengan jalur yang pertama.
2) Terlepas dari permasalahan validasi hadits tersebut, maka hadits itu tidak boleh difahami
begitu saja. Yang dimaskud menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi saw tersebut adalah dalam
sebagian permasalahan. Dengan tetap menjadikan syari’at Islam sebagai sumber hukum.
Selain alas an yang dikemukakan di muka, alas an lainnya adalah Imam Muslim meletakan
hadits tersebut jauh sesudah hadits:
ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ .
Ini artinya antara hadits yang satu dengan hadits yang lain saling berkaitan dan
tidak berdiri sendiri.
3) Setiap kita harus melihat bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi kalangan yang tidak
mau menggunakan petunjuk Nabi saw. Lihat bagaimana sikap; Abdullah bin Umar, Imran bin
Hushain, Abdullah bin Mughaffal, Ibn Abbas, Said ibn Musayyab, Malik, Ahmad, Ibn Taimiyah,
Ibn Qayyi al Jauziyah dan ulama-ulama lainnya ketika ada kalangan yang berpaling dari sunnah
Rasul saw .
Dengan jelas dan tanpa tedeng aling-aling maka saya bisa memastikan khatib tersebut sedang
terkena Flu Murjiah yang jauh lebih berbahaya dari pada Flu Burung.
Dalam kitab Ar Rudud, Bakr Abu Zaid menyatakan: Pengaruh yang paling buruk dari ‘Flu’ Murjiah
pada masa kini adalah ‘Syirk at Tasyri’’ syirik dalam masalah hokum (undang-undang) dengan
membolehkan keluar dari syariat Rabb langit dan bumi…hal ini menurut kaum Murjiah tidak
dianggap sebagai sesuatu bentuk kekafiran. Apa yang dinyatakan beliau dalam Ar Rudud adalah
sama dengan yang dinyatakannya dalam kitabnya ‘Dar’ul Fitnah ‘An Ahli as Sunnah…
bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar