Senin, 28 Mei 2012


Wahai Orang-Orang Yang Masih Mempunyai Hati,
Renungkanlah!!!
Sebuah fenomena menarik terjadi saat ini..Sebagian kaum muslimin seolah-olah tidak pernah
mengetahui apa yang sedang dialami oleh umat Islam saat ini. Mereka seolah-olah buta terhadap
realita yang terjadi saat ini, bahwa Mekkah dan Madinah saat ini dipenuhi oleh orang-orang kafir
keturunan kera dan babi, bahwa negeri-negeri kaum muslimin dijajah, dan syari’at Allah
disingkirkan dari muka bumi.
Akhirnya mereka menilai pemuda-pemuda Islam yang sangat bersemangat di dalam
agamanya, yang sangat bersemangat memperhatikan kondisi kaum muslimin saat ini dan
memfokuskan hidupnya untuk berjuang menegakkan agama Allah dan menyisihkan kehidupan
dunianya untuk agamanya sebagai anak-anak kemarin sore yang hanya didorong oleh semangat
membara, emosi yang tidak terkontrol dan kondisi kejiwaan yang labil.
Sedangkan di sisi lain mereka menganggap suatu hal yang wajar dan normal jika ada pemudapemuda
Islam yang hidupnya hanya memikirkan kesenangan dan hura-hura, mendengarkan musik,
sibuk dengan perkembangan dunia sepak bola dan berbagai macam hiburan duniawi lainnya.
Dan yang paling memprihatinkan, mereka merasa bahwa diri mereka adalah orang-orang yang
bijak dan tidak emosional.
Wahai orang-orang yang masih mempunyai hati, renungkanlah !!!
a. Jika ada seorang muslim yang sehari semalam minimal lima kali menghadapkan hati, wajah
dan anggota badannya ke kiblat, apakah rela bila kiblatnya dikencingi dan diberaki oleh
seekor babi? Lantas bagaimana jika kiblat umat Islam dijajah (bukan sekedar dikencingi
atau diberaki) oleh 300.000 s/d 500.000 "babi" (orang-orang kafir) ? Apakah bila si muslim
marah, ia layak disebut emosional dan hanya bermodal semangat ? Sedangkan bila si
muslim tenang-tenang saja, tidak mengusir dan tidak marah, dianggap sebagai orang yang
bijak dan tidak emosional ???
b. Jika ada seorang muslim mengetahui persis seorang pencuri mengambil Rp 10.000 di
lemarinya. Akankah ia biarkan saja si pencuri lolos ? Lantas bagaimana bila ia mengetahui,
para pencuri telah menguras kekayaannya ? Kekayaan yang nilainya sama dengan 62 %
kekayaan minyak bumi dunia ? Jika ia marah, mengusut dan menuntut si pencuri, layakkah
ia disebut emosional dan hanya bermodal semangat ? Ataukah ia sedang membela haknya?
c. Jika ada seorang muslim melihat sekawanan perampok membunuh salah seorang anggota
keluarganya. Bila ia berteriak geram atau bahkan melawan, layakkah ia disebut emosional
dan hanya bermodal semangat ? Lantas, bagaimana bila ia mengetahui para perampok
telah membunuh 2 juta anggota keluarganya (sesama muslim), mengusir 7 juta anggota
keluarganya dan menzalimi ratusan juta anggota keluarga lainnya ?
d. Jika ada seorang muslim yang berusaha hidup sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan assunnah,
menolak segala bentuk kekafiran, kebid'ahan dan kemungkaran. Jika ia melihat
musuh-musuh Islam datang memaksakan ajaran kekafiran (demokrasi, kapitalisme,
liberalisme), kemaksiatan dan kebejatan (budaya Barat), salahkah bila emosinya tersulut
dan kemarahannya bangkit ? Ataukah ia harus diam, membiarkan, dan bahkan merestui ?
Lantas, apakah semua fakta ini sebuah kebaikan ? Ataukah sebuah kejahatan, kezaliman dan
pelanggaran terhadap hak Allah, Rasulullah dan kaum beriman ?
Dari Bara' bin Azib bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Hancurnya dunia
adalah lebih remeh bagi Allah Ta'ala, daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang
benar."1
Lantas, bagaimana Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam mengarahkan ?
Allah Ta'ala mengarahkan dengan puluhan ayat untuk berjihad menyelamatkan akidah dan
membela umat manusia yang tertindas. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam mengarahkan dalam
1 - HR. Ibnu Majah : Kitabul Diyat. Dishahihkan styaikh Al-Albani dalam Shahih Jami' Shaghir no. 5078.
puluhan hadits untuk bahu membahu, saling menolong, menujukkan solidaritas dan mengubah
kemungkaran dengan kemampuan yang ada ; tangan, lisan atau hati.
Nu'man bin Basyir radiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda,
"Perumpamaan kaum muslimin dalam sikap saling mencintai, menyayangi dan membantu yang
lemah bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, seluruh anggota
tubuh lainnya ikut merasakan sulit tidur dan demam." 2
Di Pasar Madinah, seorang wanita muslimah ditarik jilbabnya oleh seorang Yahudi sehingga
nampak auratnya. Seorang pemuda muslim yang melihatnya marah, bangkit dan berkelahi sampai
membunuh si Yahudi. Kaum Yahudi tidak terima dan mereka ramai-ramai mengeroyok si pemuda
muslim sampai meninggal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pun menggerakkan kaum
muslimin untuk menyerbu kampung Yahudi Bani Qainuqa'. Perang pun terjadi, berawal dari sebuah
pelecehan di pasar. Apakah tindakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam ini tindakan emosional
dan spontanitas tanpa pertimbangan masak-masak ?
Dalam proses perjanjian damai Hudaibiyah, tersiar kabar bahwa ’Utsman bin Affan radiyallahu
'anhu yang diutus sebagai duta diplomasi ke Makkah telah dibunuh. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa salam segera bereaksi dengan mengambil baiah (sumpah setia) 1400 sahabat untuk berperang
sampai mati demi menuntut balas nyawa Utsman. Apakah tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa salam ini juga emosional dan spontanitas tanpa pertimbangan masak-masak ?
Bani Bakar bin Wail---sekutu kaum Quraisy---menyerbu Bani Khuza'ah---sekutu kaum
muslimin---, sehingga menimbulkan korban nyawa dan harta benda. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa salam segera bereaksi dengan mengerahkan 10.000 prajurit untuk melakukan serangan ke
Makkah. Apakah tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam ini juga emosional dan
spontanitas tanpa pertimbangan masak-masak ?
Sahabat Abdullah bin Amru bin Ash mengisahkan, suatu hari para pemimpin Quraisy
berkumpul di Hijr Ismail dalam Masjidil Haram. Mereka berbincang tentang Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa salam yang membodoh-bodohkan akal mereka, mencela bapak-bapak mereka,
menghujat agama mereka, memecah belah masyarakat dan mencela tuhan-tuhan mereka. Tiba-tiba
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam masuk ke Masjidil Haram untuk melakukan thawaf. Pada
putaran thawaf yang pertama, para pemimpin kaum Quraisy tersebut mengejek beliau. Pada putaran
thawaf kedua, kejadian serupa mereka ulangi. Ketika pada putaran thawaf yang ketiga, mereka tetap
mengejek, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam merah padam karena kemarahan. Beliau
menghampiri mereka dan mengancam :.
"Dengarkan wahai segenap orang Quraisy ! Demi Allah yang nyawa Muhammad berada di
tangan-Nya. Aku benar-benar datang untuk menyembelih kalian !" 3
Apakah tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam ---padahal saat itu, kaum muslimin
masih sedikit dan tertindas--- ini juga emosional dan spontanitas tanpa pertimbangan masak-masak ?
Kondisi yang menimpa umat Islam saat ini jelas merupakan kemungkaran yang menuntut
kaum muslimin untuk merubahnya dengan segala cara yang memungkinkan dan dibenarkan oleh
syariat ; dengan tangan, lisan maupun hati. Namun yang mengherankan dan menyedihkan, ketika
sebagian umat Islam (baca : para pemuda ingusan, anak kemarin sore yang emosional dan tergesagesa)
berusaha merubah kemungkaran ini, justru para tokoh umat Islam (terlebih kaum awam umat
Islam) mencela dan mengutuk mereka.
Anehnya, mereka sendiri tidak merubah kemungkaran yang ada ini dengan lisan mereka. Lisan
mereka justru sibuk "menguliti" para pemuda "emosional". Jika hati mereka membenci kemungkaran
yang ada, kenapa bukti fisik mereka (ucapan lisan) justru menghujat orang-orang yang berusaha
merubah kemungkaran ? Bukankah fisik merupakan cerminan isi hati ?
2 - HR. Bukhari : Kitabul Adab no. 6011, Muslim : Kitabul Bir wa Shilah no. 2586, dengan lafal Muslim.
3 . HR. Ibnu Ishaq sebagaimana disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam 1/189, Ahmad 2/218, Al-Baihaqi dalam Dalailun
Nubuwah 2/275, Ath-Thabari dalam At-Tarikh 2/332, Al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 6/15-16, ia mengatakan :
Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Ibnu Ishaq telah secara tegas menyatakan as-sima' (mendengar langsung), sementara para
perawi lainnya adalah perawi dalam as-shahih. Syaikh Ahmad Syakir menyatakan dalam Syarhu Musnad Ahmad 11/204 :
sanad hadts ini shahih.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata :
"Dien (agama) macam apa, dan kebaikan macam apa, yang tersisa pada diri seseorang yang
melihat hal-hal yang diagungkan Allah dinodai, aturan-aturan Allah ditelantarkan, agama Allah
ditinggalkan dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam dibenci, sementara hatinya dingin
saja, lisannya diam saja? Sungguh, ia tak lain adalah setan bisu, sebagaimana orang yang berbicara
dengan kebatilan adalah setan yang berbicara. Bukankah bencana yang menimpa agama ini hanya
berasal dari orang-orang semisal mereka ; orang-orang yang tak mempedulikan apapun yang
terjadi dengan agama, selama urusan makan dan kedudukannya selamat ?
Orang yang paling baik di kalangan mereka, adalah orang yang sok sedih dan murung. Padahal,
jika harga diri atau hartanya diganggu sedikit saja, ia akan mengerahkan segenap kemampuan,
bersunggguh-sungguh dan menggunakan ketiga bentuk merubah kemungkaran sesuai
kemampuannya. Mereka itu---selain telah jatuh harga dirinya di mata Allah dan Allah memurkai
mereka---telah ditimpa dengan musibah terbesar di dunia ini, namun mereka tidak menyadarinya.
Itulah bencana MATINYA HATI. Sesungguhnya semakin sempurna kehidupan hati seorang
manusia, rasa marahnya karena Allah dan Rasul-Nya akan semakin besar, dan pembelaannya
kepada agama akan semakin sempurna."4
Sedangkan guru beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Ketahuilah -–semoga Alloh senantiasa memperbaiki diri kalian—, nikmat terbesar bagi orang
yang Alloh ‘Azza Wa Jallaehendaki kebaikan pada dirinya adalah ketika Alloh menghidupkannya
sekarang ini, di zaman ketika Alloh tengah memperbaharui agama-Nya, menghi-dupkan kembali
syiar kaum muslimin, menghidupkan ihwal kaum mukminin dan para mujahidin; sehingga
keadaannya mirip dengan As-Sabiqunal Awwalin dari kalangan Muhajirin dan Anshor. Maka siapa
saja yang melaksanakan semua ini di zaman sekarang, berarti ia termasuk orang-orang yang
mengikuti jejak mereka dalam kebaikan. Maka sudah selayaknya kaum mukminin bersyukur kepada
Alloh atas ujian yang pada hakikatnya adalah anugerah mulia dari Alloh Ta‘ala ini, seharusnya
mereka mensyukuri terjadinya fitnah yang di dalamnya mengandung nikmat besar ini. Hingga
seandainya para shahabat As-Sabiqûnal Awwalûn dari kalangan Muhajirin dan Anshor, seperti Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan yang lainnya, mereka hadir di tempat ini, tentu amalan paling
utama yang mereka lakukan adalah berjihad melawan orang-orang jahat itu. Dan tidak ada yang
ketinggalan dari peperangan seperti ini selain orang yang merugi perdagangannya, dungu
jiwanya, dan diharamkan untuk mendapatkan bagian besar dari dunia dan akhirat; kecuali orang
yang mendapatkan udzur dari Alloh, seperti orang sakit, fakir, buta, dan lain sebagainya”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah beserta keluarga
dan seluruh shahabat beliau.
Akhir kata, Alhamdulillahi rabbil ’alamin.
4 - I'lamul Muwaqi'in 2/121.

Sabtu, 26 Mei 2012

                                   Fenomena Bid’ah di Bulan Rajab
                                       Abu Ubaidah Al-Atsari

Memang benar, keutamaan bulan dalam (kalender hijriyah) itu bertingkat-tingkat,
begitu juga hari-harinya. Misalnya bulan Romadhon lebih utama dari semua bulan,
hari Jum'at lebih utama dari semua hari, malam Lailatul Qodar lebih utama dari semua
malam dan lain sebagainya.
Namun, harus kita fahami bersama bahwa timbangan keutamaan tersebut hanyalah
syari'at, yakni Al-Qur'an dan hadits yang shohih, bukan hadits-hadits dho'if dan
maudhu' (lemah dan palsu).
Diantara bulan Islam yang ditetapkan kemuliaannya dalam Al-Qur'an dan sunnah
adalah bulan Rojab. Namun sungguh sangat disesalkan beredarnya riwayat-riwayat
yang dho'if dan palsu seputar bulan Rojab serta amalan-amalan khusus di bulan Rojab
di tengah masyarakat kita, sehingga digunakan senjata oleh para pecandu bid'ah dalam
mempromosikan kebid'ahan-kebid'ahan ala jahiliyyah di muka bumi ini.
Dari sinilah, terasa pentingnya penjelasan secara ringkas tentang pembahasan seputar
bulan Rojab dan amalan-amalan manusia yang menodainya dengan riwayat-riwayat
yang lemah dan palsu.
Rojab, Definisi dan Keutamaannya
Rojab secara bahasa diambil dari kata "Rojaba ar-rajulu rajaban", artinya
mengagungkan dan memuliakan. Rojab adalah sebuah bulan. Dinamakan dengan Rojab
dikarenakan mereka dulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah yaitu dengan
tidak menghalalkan perang di bulan tersebut. 1
Disalin dari majalah Al-Furqon Edisi 12 Th. I 1423H hal 9 - 13.
1Lihat Al-Qomus Muhith 1 / 74 dan Lisanul Arob 1 / 411, 422.
1
Tentang keutamaannya, Alloh telah ber rman,
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Alloh adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Alloh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu. (QS At-Taubah: 36).
Imam At-Thobari berkata,
Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan harom (mulia),
dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya.
Mereka mengharomkan peperangan pada bulan tersebut hingga seandainya
ada seseorang bertemu dengan pembunuh bapaknya, dia tidak akan
menyerangnya.
Bulan empat itu adalah Rojab Mudhor, dan tiga bulan berurutan:
Dzulqo'dah, Dzulhijjah dan Muharrom. Demikianlah yang dinyatakan dalam
hadits-hadits Rasulullah. 2
Imam Bukhori meriwayatkan dalam Shohihnya (4662) dari Abu Bakroh bahwasanya
Nabi bersabda,
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya tatkala Alloh
menciptakan langit dan bumi, setahun ada dua belas bulan diantaranya
terdapat empat bulan harom, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo'dah,
Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab Mudhor yang terletak antara Jumadil
(akhir) dan Sya'ban.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa bulan Rojab sangat diagungkan oleh manusia
pada masa jahiliyah adalah riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2 / 345)
dari Khorosyah bin Hurr, ia berkata,
Saya melihat Umar memukul tangan-tangan manusia pada bulan Rojab
agar mereka meletakkan tangan mereka di piring, kemudian beliau (Umar)
mengatakan,
Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya Rojab adalah bulan
yang diagungkan oleh orang-orang Jahiliyah. 3
2Lihat Jami'ul Bayan 10 / 124 - 125.
3Atsar shohih, dishohihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 25 / 291 dan Al-Albani dalam
Irwa'ul Ghalil no. 957.
2
A. Riwayat Seputar Rajab
Al-Ha zh Ibnu Hajar berkata, dalam kitabnya Tabyin 'Ajab Bima Waroda Fi Rojab
(6):
Tidak ada hadits shohih yang dapat dijadikan hujjah seputar amalan khusus
di bulan Rojab, baik puasa maupun sholat malam dan sejenisnya. Dan dalam
menegaskan hal ini, aku telah didahului oleh Al-Imam Abu Isma'il Al-Harowi
Al-ha dz. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad shohih, demikian pula
kami meriwayatkan dari selainnya.
Al-Ha zh Ibnu Hajar juga berkata,
Hadits-hadits yang datang secara jelas seputar keutamaan Rojab atau puasa
di bulan Rojab terbagi menjadi dua, dho'if (lemah) dan maudhu' (palsu).
Al-Ha zh telah mengumpulkan hadits-hadits seputar Rojab, maka beliau mendapatkan
sebelas hadits berderajat dho'if dan dua puluh satu hadits berderajat maudhu'. Berikut
ini kami nukilkan sebagian hadits-hadits dho'if dan maudhu' tersebut:
Sesungguhnya di Surga ada sebuah sungai yang dinamakan "Rojab",
warnanya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu.
Barangsiapa berpuasa satu hari di bulan Rojab, niscaya Allah akan
memberinya minum dari sungai tersebut. (Hadits dho'if / lemah)
Rasulullah apabila memasuki bulan Rojab, beliau berdo'a, "Ya Allah,
berkahilah kami pada bulan Rojab dan Sya'ban dan pertemukanlah kami
dengan Romadhon." (Hadits dho'if / lemah)
Bulan Rojab adalah milik Alloh, Sya'ban adalah bulanku dan Romadhon
adalah bulan umatku. (Hadits maudhu' / palsu)
Keutamaan bulan Rojab dibandingkan semua bulan seperti keutamaan Al-
Qur'an terhadap semua dzikir. (Hadits maudhu' / palsu)
Barangsiapa berpuasa pada bulan Rojab dan sholat empat rokaat pada
bulan tersebut,... niscaya dia tidak menginggal dunia hingga melihat tempat
tinggalnya di Surga, atau diperlihatkan untuknya (Hadits maudhu' /
palsu)
Itulah sedikit contoh dari hadits-hadits dho'if dan maudhu' seputar bulan Rojab.
Sengaja kami nukil secara ringkas karena maksud kami hanya untuk dapat memberikan
syara'at dan perhatian saja, bukan membahas secara detail dan terperinci.
3
B. Sholat Roghoib
Sholat Roghoib adalah sholat yang dilaksanakan pada malam Jum'at pertama bulan
Rojab, tepatnya antara sholat maghrib dan isya' dengan didahului puasa hari Kamis,
dikerjakan dengan dua belas rakaat. Pada setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah
sekali, surat Al-Qodar tiga kali dan surat Al-Ikhlas dua belas kali... dan seterusnya.
Sifat sholat seperti di atas tadi didukung oleh sebuah riwayat oleh sahabat Anas
bin Malik yang dibawakan secara panjang oleh Imam Ghozali (bukan Moh Ghozzali
Al-Mishri) dalam Ihya' Ulumuddin (1 / 203) dan beliau menamainya dengan "Sholat
Rojab" seraya berkata "ini adalah sholat yang disunnahkan"!!!
Demikianlah perkataannya -semoga Allah mengampuninya- padahal para pakar ahli
hadits telah bersepakat dalam satu kata bahwa hadits-hadits tentang "Sholat Roghoib"
adalah Maudhu' (palsu). Di bawah ini, penulis nukilkan sebagian komentar ulama' ahli
hadits tentangnya:
1. Imam Ibnu Jauzy berkata:
Hadits sholat Roghoib adalah palsu, didustakan atas nama Rasulullah.
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini dibikin oleh seseorang yang
bernama Ibnu Juhaim. Dan saya mendengar syaikh (guru) kami Abdul
Wahhab Al-Ha zh mengatakan,
Para perowinya majhul (tidak dikenal), saya telah memeriksa
seluruhnya dalam setiap kitab, namun saya tidak mendapatkan-
nya. 4
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Sholat Roghoib adalah bid'ah menurut kesepakatan para imam agama,
tidak disunnahkan oleh Rasulullah, tidak pula oleh seorangpun dari
khalifahnya serta tidak dianggap baik oleh para ulama panutan, seperti
Imam Malik, Sya 'i, Ahmad, Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Auza'i,
Laits dan sebagainya. Adapun hadits tentang sholat Roghoib tersebut
adalah hadits dusta, menurut kesepakatan para pakar ahli hadits. 5
3. Imam Dzahabi berkata tatkala mebceritakan biogra imam Ibnu Sholah:
4Al-Maudhu'at (2 / 124 - 125).
5Majmu' Fatawa (23 / 134)
4
Beliau (Ibnu Sholah) tergelincir dalam masalah sholat Roghoib, beliau
menguatkan dan mendukungnya padahal kebatilan hadits tersebut tidak
diragukan lagi. 6
4. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:
Demikian pla hadits-hadits tentang sholat Roghoib pada awal malam
Jum'at bulan Rojab, seluruhnya dusta, dibuat-buat atas nama
Rasulullah. 7
5. Al-Ha dz Al-'Iroqi berkata: "hadits maudhu' (palsu)." 8
6. Al-Allamah Asy-Syaukani berkata:
Maudhu', karena para perowinya majhul. Dan inilah sholat Roghoib
yang masyhur, para pakar telah bersepakat bahwa hadits tersebut
maudhu', kepalsuannya tidak diragukan lagi, hingga orang yang baru
dalam ilmu hadits sekalipun... Berkata Al-Fairuz Abadi dalam Al-
Mukhtashor bahwa hadits tersebut maudhu' menurut kesepakatan,
demikian pula dikatakan oleh Al-Maqdisi. 9
Apabila telah jelas derajat Sholat Roghoib sebagaimana di atas, maka mengerjakannya
merupakan kebid'ahan dalam agama, yang harus diwaspadai oleh setiap insan yang
hendak meraih kebahagiaan.
Untuk menguatkan kebid'ahan sholat Roghoib ini, penulis nukilkan perkataan dua
imam masyhur di kalangan madzhab Sya 'i yaitu Imam Nawawi dan Imam Suyuthi -
semoga Allah merahmati keduanya.
Imam Nawawi berkata,
Sholat yang dikenal dengan Sholat Roghoib, dua belas rakaat antara
Maghrib dan Isya' awal malam Jum'at bulan Rojab dan sholat Nisfu
Sya'ban seratus rakaat, termasuk bid'ah mungkar dan jelek. Janganlah
tertipu dengan disebutkannya kedua sholat tersebut dalam Qutul Qulub
dan Ihya' Ulumuddin (karya Al-Ghozali) dan jangan tertipu [ula oleh hadits
6Siyar A'lam Nubala' (23 / 142 - 143)
7Al-Manar Munir (no. 167)
8Takhrij Ihya' (1 / 203)
9Al-Fawaidul Majmu'ah (47 - 48)
5
yang termaktub pada kedua kitab tersebut. Sebab, seluruhnya merupakan
kebatilan. 10
Imam Suyuthi berkata,
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa mengagungkan hari dan
malam ini (Rojab) merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam, yang
bermula setelah 400H.
Memang ada riwayat yang mendukungnya, namun haditsnya maudhu'
(palsu) dengan kesepakatan para ulama', riwayat tersebut intinya tentang
keutamaan puasa dan sholat pada bulan Rojab yang dinamai dengan Sholat
Roghoib.
Menurut para pakar, dilarang mengkhususkan bulan ini (Rojab) dengan
puasa dan sholat bid'ah (sholat Roghoib) serta segala jenis pengagungan
terhadap bulan ini seperti membuat makanan, menampakkan perhiasan dan
sejenisnya. Supaya bulan ini tidak ada bedanya seperti bulan-bulan lainnya.
11
Kesimpulannya, riwayat tentang Sholat Roghoib adalah maudhu' (palsu) dengan
kesepakatan para pakar ahli hadits. Oleh karena itu, beribadah dengan hadits palsu
merupakan kebid'ahan dalam agama, apalagi sholat Roghoib ini baru dikenal mulai
tahun 448H.
C. Perayaan Isra’ Mi’raj
Setiap tanggal 27 Rojab, perayaan Isro' Mi'roj sudah merupakan sesuatu yang tidak
dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang. Bahkan, hari tersebut menjadi hari libur
nasional. Oleh karena itu, mari kita mempelajari masalah ini dari dua tinjauan.
1. Tinjauan Sejarah Munculnya Perayaan Isro' Mi'roj
Dalam tinjauan sejarah waktu terjadinya Isro' Mi'roj masih diperdebatkan oleh
para ulama. Jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan hingga
kini. Al-ha zh Ibnu Hajar Al-Atsqolani memaparkan perselisihan tersebut dalam
kitabnya, Fathul Bari (7 / 203) hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat!
10Al-Majmu' Syarh Muhadzab (3 / 549)
11Al-Amru Bil Ittiba' hal. 166 - 167.
6
Ada yang berpendapat bahwa Isro' Mi'roj terjadi pada bulan Romadhon, Syawal,
Robi'ul Awal, Robi'ul Akhir ... dan seterusnya.
Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari Zuhri dan 'Urwah bahwa Isro' Mi'roj
terjadi setahun sebelum keluarnya Nabi ke kota Madinah yaitu bulan Robi'ul Awal,
adapun pendapat Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijroh, yaitu
bulan Dzulqo'dah.
Al-Ha dz Abful Ghoni bin Surur Al-Maqdisi membawakan dalam sirohnya hadits
yang tidak shohih sanadnya tentang waktu isro' mi'roj pada tanggal 27 Rojab.
Dan sebagian manusia menyangka bahwa isro' mi'roj terjadi pada hari Jum'at
pertama bulan Rojab, yaitu malam Roghoib yang ditunaikan pada waktu tersebut
sebuah sholat masyhur, tetapi tidak ada asalnya. 12
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah-,
Tidak ada dalil shohih yang menetapkan bulan maupun tanggalnya, seluruh
nukilan tersebut munqothi' (terputus) dan berbeda-beda. 13
Bahkan Imam Abu Syamah menegaskan,
Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa Isro' Mi'roj terjadi pada bulan Rojab,
hal itu menurut ahli hadits merupakan kedustaan yang amat nyata. 14
Dari perkataan para ulama' di atas dapat disimpulkan bahwa Isro' Mi'roj
merupakan malam yang agung, namun tidak diketahui waktunya. Agar pembaca
memahami masalah ini, dengan mudah saya katakan,
Ada sebagian ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, kita tidak boleh
melangkahinya seperti sholat lima waktu. Ada sebagian ibadah lainnya, Allah
menyembunyikan waktunya dan memerintahkan kepada kita untuk berlomba-
lomba mencarinya seperti malam Lailatul Qodar. Dan sebagian waktu yang mulia
derajatnya di sisi Allah dan tidak ada ibadah khusus (seperti sholat dan puasa)
untuknya, oleh karena itu Allah menyembunyikan waktunya, seperti malam Isro'
Mi'roj. 15
2. Tinjauan Syari'at
12Al-Bidayah Wa Nihayah (3 / 108 - 109)
13Zadul Ma'ad (1 / 57)
14Al-Baaits, hal. 171.
15Lihat majalah At-Tauhid, Mesir, hal. 9 edisi 7 th. 28, Rojab 1420H.
7
Ditinjau dari segi syari'at, kalau toh memang benar bahwa Isro' Mi'roj terjadi
pada 27 Rojab, namun kalau kemudian waktu tersebut dijadikan sebagai
malam perayaan dengan pembacaan kisah-kisah palsu tentang Isro' Mi'roj, maka
seseorang yang tidak mengikuti hawa nafsunya, tidak akan ragu bahwa hal tersebut
termasuk perkara bid'ah dalam Islam. Sebab, perayaan tersebut tidaklah dikenal
di masa sahabat, tabi'in dan para pengikut setia mereka.
Islam hanya memiliki tiga hari raya; yakni Idhul Fitri, Idhul Adha setiap satu
tahun, dan hari Jum'at setiap satu minggu. Selain tiga ini, tidak termasuk agama
Islam secuilpun. 16
Ibnu Hajj berkata, "Termasuk perkara bid'ah yang diada-adakan oleh orang-orang
pada malam 27 Rojab adalah ..." Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh
bid'ah pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di masjid, ikhthilath (campur
baur antara laki-laki dengan perempuan), menyalakan lilin dan pelita; beliau juga
menyebutkan perayaan malam Isro' Mi'roj termasuk perayaan yang dinasabkan
kepada agama, padahal bukan darinya. 17
Ibnu Nuhas berkata,
Sesungguhnya perayaan malam ini (Isro' Mi'roj) merupakan kebid'ahan
besar dalam agama yang diada-adakan oleh saudara-saudara syetan. 18
Penulis kitab As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad bin Ahmad As Sya 'i (murid
Syaikh Rosyid Ridho) hal 127 menegaskan,
Pembacaan kisah Mi'roj dan perayaan malam 27 Rojab merupakan
perkara bid'ah... Dan kisah Mi'roj yang disandarkan kepada Ibnu Abbas,
seluruhnya adalah kebatilan dan kesesatan. Tidak ada yang shohih
kecuali beberapa huruf saja.
Demikian pula dengan kisah Ibnu Shulthon, seorang penghambur yang
tidak pernah sholat kecuali di bulan Rojab saja, namun tatkala hendak
meninggal dunia, terlihat padanya tanda-tanda kebaikan sehingga ketika
Rasulullah ditanya perihalnya, beliau menjawab,
16Lihat At-Tamassuk bis Sunnah Nabawiyah (33 - 34) oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-
Utsaimin.
17Al-Madkhol: 1 / 294 - 298 dinukil dari Al-Bida' Al-Hauliyah hal. 275 - 276 oleh Syaikh Abdullah
bin Abdul Aziz At-Tuwaijiri.
18Tanbih Al-Gho lin, (379 - 380)
8
Sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh dan berdo'a pada
bulan Rojab.
Semua ini merupakan kedustaan dan kebohongan. haram hukumnya membacakan
dan melariskan riwayatnya kecuali untuk menjelaskan kedustaannya. Sungguh
sangat mengherankan kami, tatkala para jebolan Azhar membacakan kisah-kisah
palsu seperti ini kepada manusia.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,
Malam Isro' Mi'roj tidak diketahui waktu terjadinya. Karena seluruh
riwayat tentangnya tidak ada yang shohih menurut para pakar ilmu
hadits. Di sisi Alloh-lah hikmah dibalik semua ini.
Kalaulah memang diketahui waktunya, tetapi tidak boleh bagi kaum
muslimin untuk mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan.
Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Seandainya disyari'atkan, pastilah Nabi menjelaskannya kepada umat,
baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan...
Kemudian beliau berkata,
Dengan penjelasan para ulama beserta dalil-dalil dari Al-Qur'an dan
hadits di atas sudah cukup bagi para pencari kebenaran untuk
mengingkari bid'ah malam Isro' Mi'roj yang memang bukan dari Islam
secuilpun...
Sungguh amat menyedihkan, tatkala bid'ah ini meruyak segala penjuru
negeri Islam, sehingga diyakini oleh sebagian orang bahwa perayaan
tersebut merupakan Agama.
Kita berdo'a kepada Alloh agar memperbaiki keadaan kaum muslimin
semuanya dan memberi karunia kepada mereka berupa ilmu agama dan
tau q serta istiqomah di atas kebenaran. 19
D. Mengkhususkan Puasa di Bulan Rojab
Termasuk perkara bid'ah di bulan Rojab adalah mengkhususkan puasa bulan Rojab,
karena tidak ada hadits shohih yang mendukungnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
19At-Tahdzir Minal Bida', hal. 9 oleh Syaikh Ibnu Baz.
9
Adapun mengkhususkan puasa di bulan Rojab, maka seluruh haditsnya
adalah lemah dan palsu, ahli ilmu tidak menjadikannya sebagai sandaran
sedikitpun. 20
Imam Suyuthi berkata,
Mengkhususkan bulan Rojab dengan puasa adalah dibenci. Sya 'i berkata,
Aku membenci bila seseorang menyempurnakan puasa sebulan
penuh seperti puasa Romadhon, dimikian pula mengkhususkan
suatu hari di hari-hari lainnya.
Dan Imam Abdullah Al-Anshori -seorang ulama dari Khurosan- tidak
berpuasa bulan Rojab bahkan melarangnya seraya berkata,
Tidak satu hadits pun shohih dari Rosululloh tentang keutamaan
bulan Rojab dan puasa Rojab.
Bila dikatakan, Bukankah puasa termasuk ibadah dan kebaikan?" Jawabnya,
"Benar. Tapi ibadah harus berdasarkan contoh dari Rosululloh. Apabila
diketahui hadits-nya dusta, berarti tidak termasuk syari'at."
Bulan Rojab diagung-agungkan oleh Bani Mudhor di masa jahiliyah
sebagaimana dikatakan Umar bin Khoththob. Bahkan beliau memukul
tangan orang-orang yang berpuasa di bulan Rojab.
Demikian pula Ibnu Abbas apabila melihat manusia berpuasa Rojab, beliau
membencinya seraya berkata, "Berbukalah kalian, sesungguhnya Rojab
adalah bulan yang diagungkan oleh ahli jahiliyah." 21
Imam Thurthusi mengatakan -setelah membawakan atsar-atsar di atas,
Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa pengagungan manusia terhadap Rojab
sekarang ini, merupakan sisa-sisa peninggalan zaman jahiliyah dahulu.
Kesimpulannya, berpuasa di bulan Rojab adalah dibenci dan apabila seorang
berpuasa dalam keadaan yang aman, yaitu bila manusia telah mengetahuinya
20Majmu' Fatawa 25 / 290.
21Al-Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 2 / 346. Lihat pula Al-Amru Bil Ittiba', hal. 174 - 176 oleh
Imam Suyuthi, di tahqiq oleh Syaikh Mashur bin Hasan Salman.
10
dan tidak menganggapnya wajib atau sunnah, maka hukumnya tidak apa-
apa. 22
Kesimpulan dari perkataan para ulama' di atas: tidak boleh mengkhususkan puasa di
bulan Rojab sebagai pengagungan terhadapnya. Sedangkan apabila seseorang telah
bterbiasa / rutin berpuasa sunnah (puasa Daud atau Senin Kamis misalnya, baik
di bulan Rojab maupun tidak) dan tidak beranggapan sebagaimana anggapan salah
masyarakat awam sekitarnya, maka ini diperbolehkan.
E. Sembelihan Rojab
Termasuk adat Jahiliyah dahulu adalah menyembelih hewan di bulan Rojab
sebagai pengagungan terhadapnya, disebabkan Rojab merupakan awal bulan harom
sebagaimana dikatakan Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya (4 / 496).
Tatkala Islam datang, secara tegas telah membatalkan acara sembelihan Rojab serta
mengharomkannya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rosulullah, diantaranya,
Dari Abu Huroiroh ia berkata, Rosululloh bersabda, "Tidak ada Faro' dan 'Athiroh."
23
Dalam riwayat lainnya dengan lafadz "larangan", Rosululloh melarang dari Faro' dan
'Athiroh. 24
Dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya (2 / 229) dengan lafadz, "Tidak ada
'Athiroh dan Faro' dalam Islam."
Berkata Abu 'Ubaid -seorang ulama pakar bahasa-,
'Athiroh adalah sembelihan yang biasa dilakukan di masa jahiliyah pada
bulan Rojab untuk taqorrub (mendekatkan diri) kepada patung-patung
mereka. 25
Abu Daud juga berkata,
Faro' adalah unta yang disembelih oleh orang-orang jahiliyah yang
diperuntukkan bagi tuhan-tuhan, kemudian mereka makan, lalu kulitnya
22Lihat Al-Hawadits Wal Bida', hal. 141 - 142, tahqiq Syaikh Ali Al-Halabi.
23HR. Bukhori 5473, 5474; Muslim 1976; Abu Dawud 2831; Tirmidzi 1512; Nasa'i 4219 dan
Ibnu Majah 3168.
24HR. Nasa'i 4220; Ahmad 2 / 409 dan Al-Isma'ily sebagaimana dalam Fathul Bari 8 / 596.
25Fathul Bari 8 / 598, oleh Ibnu Hajar.
11
dilemparkan ke pohon. Adapun 'Athiroh adalah sembelihan pada sepuluh
hari pertama bulan Rojab. 26
26Lihat 'Aunul Ma'bud 7 / 341, 8 / 24 oleh Abu Abdir Rohman Syaroful Haq Azhim Abadi -bukan
Syamsul Haq Adzim Abadi sebagaimana tertulis dalam sampul kitab.
12

Senin, 14 Mei 2012

KESESATAN SALAFY MAZ'UM

INILAH KESESATAN SALAFI MAZ’UM (MURJIAH KONTEMPORER)
Mukadimah
Jika kita perhatikan tulisan-tulisan, diskusi, seminar bahkan wawancara yang dilakukan terhadap
sebagian aktifis Islam pada saat ini, kita akan mendapatkan seolah-olah sekte sesat yang
diblacklist oleh Rasulullah saw telah hilang kecuali Khawarij. Bagi mereka seolah-olah bumi ini
telah bersih dari orang-orang kafir, murtad, zindiq, sekuler dan yang tersisa hanyalah kesesatan
Khawarij. Dalam halusinasi mereka seolah-olah Khawarij ini sedang bangkit kembali untuk
meraih Khalifah Rasyidah!
Tulisan ini bukan merupakan pembelaan terhadap kaum Khawarij karena tidak ada artinya
membela kelompok sesat tersebut. Namun di sini penyusun hanya ingin menjelaskan bahwa
tidak sedikit yang menuduh Khawarij salah alamat. Bahkan kita temukan mereka yang menuduh
ternyata terjerumus dalam paham Khawarij sendiri. Mereka menganggap sesat selain kelompok
dan golongannya. Tidak tanggung-tanggung mengkafirkan masyarakat suatu negara secara
general. Bahkan ketika menghadiri Mu’tamar Ahli Sunnah di Texas Amerika ada kalangan yang
menyatakan, bahwa Jama’ah Tabligh dan Jam’iyyah Syar’iyyah merupakan dua kelompok yang
akan masuk neraka.!
Ilmu macam apa yang mereka miliki dan pelajari? Kesesatan macam apa yang mereka anut
kalau bukan kesesatan Khawarij? Mereka memusuhi (memerangi) Umat Islam dan membiarkan
para penyembah berhala!
Maka wajar jika pada saat itu salah seorang murid Syekh Utsaimin, seorang dai’ Mesir
berkaliber internasional Syekh Muhammad Hassan menegur mereka dan meluruskan
pemahaman mereka yang keliru. Namun dikarenakan watak mereka yang suka ‘ngeyel’,
merekapun tetap tidak menerima nasehat berharga tersebut. Pada akhirnya Syekh Shafwat
Nuruddin –rahimahullah- (Ketua Jama’ah Anshar As Sunnah saat itu) berdiri dan mengutarakan
kekecewaannya. “Jauh-jauh kita datang dari negri kita, tapi kita tidak mendapatkan apa yang kita
cari, kita sesama Ahli Sunnah justru bertengkar di sebuah negri non Islam.”
Mereka yang menuduh kalangan lain sebagai Khawarij ternyata mereka juga merupakan bagian
dari kelompok sesat tersebut. Bahkan kedok mereka akhirnya terbuka, mereka adalah jaringan
Neo Murjiah. Cukuplah fatwa yang keluar dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi yang menjelaskan
siapa sebenarnya mereka .
Sikap Syaikh Utsaimin
Adapun penjelasan sebagian kalangan bahwa Syekh Utsaimin menyayangkan fatwa tersebut, hal
ini bukan berarti fatwa itu salah. Bahkan kita mendapatkan penjelasan bahwa Syekh Utsaimin
tidak setuju dengan keyakinan Syekh AlBani bahwa kekafiran terjadi hanya dikarenakan istihlal
(penghalalan) dan juhud (penolakan) saja. Hal ini sebagaimana dimuat dalam buku “Min Fitnati
Takfir” karya Syekh Abu Lauz. Syekh Utsaimin berkata: “Namun kita menyelisihi beliau (Syekh
AlBani) dalam sebuah permasalahan, bahwa mereka tidak dihukumi kafir hingga mereka
meyakini halalnya (tidak berhukum kepada hukum Allah). Permasalahan tersebut perlu
dipertimbangkan lagi. Kami katakan, barang siapa yang meyakini halalnya (tidak berhukum
dengan hukum Allah) meskipun ia berhukum dengan hukum Allah dan dia meyakini hukum selain
Allah lebih utama. Maka dia kafir, kafir karena keyakinan…(hal. 28) .”
Sebuah Perbandingan
Kita tidak menafikan, pada masa ini ada kalangan yang berfaham Khawarij. Seperti yang terjadi
di Mesir, ada kelompok yang mengaku sebagai “Jama’ah Muslimin” dan media massa
menyebutnya Jama’ah Takfir Wal Hijrah yang dipimpin oleh Musthafa Syukri. Kelompok ini
mudah sekali mengkafirkan kalangan yang bukan dari kelompoknya. Konon yang tidak dikafirkan
olehnya ada dua: Mentri Kesehatan dan Perhubungan. Bahkan dia berani mengkafirkan Nabi kita
Muhamad saw.
Namun perlu dijadikan bahan renungan bahwa Khawarij pada saat ini jumlahnya tidak terlalu
signifikan jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok sesat lainnya. Coba bandingkan dengan
kelompok sesat lainnya yang ada di permukaan bumi ini! Kaum kafir, Kelompok Sekuler, Syi’ah,
Ahmadiyah, Murjiah, Quburiyah dan lain-lain.
Dan perlu dicatat juga, tidak semua orang yang bertentangan dengan penguasa harus diberi
label Khawarij. Bukankah suri tauladan kita, Nabi Ibrahim bersebrangan dengan penguasa saat
itu. Bukankah Nabi Musa bersebrangan dengan pemerintahan Fir’aun dan keluar ke Negri
Madyan? Bukankah nabi kita Muhamad saw bersebrangan dengan para pemimpin saat itu dan
keluar meninggalkan Mekah menuju Madinah? Apakah mereka Khawarij? Apakah para penguasa
itu adalah Ulil Amri?
Dengan demikian tuduhan Khawarij bukan pada tempatnya merupakan tuduhan klasik. Husein
bin Ali beserta pengiringnya yang keluar menuju Kufah, Abdullah bin Zubeir, Sulaiman bin Shord
dengan At Taubahnya yang berjumlah 3000 pasukan, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Izuddin
Abdul Salam, Ibnu Taimiyah, Muhamad bin Abdul Wahab dan lain-lain.
Tidak semua orang yang menyerukan pentingnya syariat harus diberi label Khawarij. Tidak
semua orang yang mengatakan “Laa Hukma Illa lillah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah)
mereka adalah Khawarij. Pernyataan itu adalah makna dari pernyataan seorang nabi yang mulia
dan merupakan putra dari seorang nabi yang mulia, dialah Yusuf as. Sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah, Yusuf berkata: “Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Yusuf:
40).
Setelah Rasul saw wafat, slogan tersebut dilontarkan oleh Khawarij pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu Ali merupakan khalifah yang sah, berpihak kepada umat Islam,
menegakan syari’at Allah, mengibarkan panji jihad, memberikan loyalitas kepada orang-orang
beriman dan memusuhi orang-orang kafir.
Permasalahannya kemudian, siapakah yang berani mengatakan penguasa (baca Ulil Amri) saat
ini sama dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib? Undang-undang yang digunakan saat ini apakah
sama dengan undang-undang yang diberlakukan pada masa Khalifah Ali?
Di sini perlu kiranya kita merenungkan pernyataan Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari
dalam bukunya “Al Wajiz Fi Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169 ) .
Beliau berkata: “Adapun jika (para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum
dengannya dan berhukum dengan yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum
muslim dan manusia tidak wajib mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan
imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan
tidak boleh keluar darinya. Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka
melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama,
melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam
setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir.
Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka telah hilang
darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal
‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) untuk mencopotnya dan
menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk merealisasikan tujuan
kepemimpinan.
Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin yang dzalim dan fasik -
karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama- maka yang dimaksud
mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak
mengenal istilah pemimpin (Ulil Amri pent-) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka
pemimpin seperti ini bukanlah Ulil Amri. Yang dimaksud kepemimpinan (Ulil Amri) adalah
menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan
kepemimpinan yang buruk .
Pembaca budiman, sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa mereka yang menuduh
kalangan yang ingin menegakan syariat dengan sebutan Khawarij ternyata mereka juga
merupakan generasi Murjiah. Lantas siapakah sebenarnya Murjiah? Maka di sini kita akan
kutipkan pernyataan-pernyataan yang datang dari ulama terdahulu (As Salaf As Shalih) seputar
Murjiah.
Murjiah dan Pernyataan Ulama Salaf
Paham murjiah ini bisa berbahaya bagi ajaran Islam dan pemeluknya. Bahkan Syekh DR. Bakr
Abu Zaid dalam bukunya ‘Dar’ul Fitnah ‘An Ahli Sunnah’ menyebutkan di antara dampak negatif
paham Murjiah adalah meremehkan shalat, syariat Islam dan jihad di jalan Allah.
Selain dari buku-buku tadi yang membongkar syubhat neo murjiah bisa juga dilihat buku Al
Hukmu Bighaeri Maa Anzalallah Ahwaluhu Wa Ahkaamuhu karya Prof. DR. Shalih Al Mahmud , Ar
Rudud karya DR. Bakr Abu Zaid dan At Tawassuth Wal Iqtishad Fi Annal Kufro Yakuunu Bil Qaul
Awil Fi’li Awil I’toqad karya Alwi bin Abdul Qadir As Saqqaf. Buku terakhir ini telah dibaca oleh
Syekh Bin Baz, diberi pengantar, diwasiatkan untuk dicetak dan disebarkan .
Sa’id bin Jubair (wafat Th. 95H)
Ummu Abdillah bin Habib dari ibunya berkata: “Aku mendengar Sa’id bin Jabir ketika menyebut
Murjiah, beliau berkata: “Mereka adalah Yahudi.”
Ibrahim An Nakha’i (Wafat th. 96 H)
Sa’id bin Shalih berkata: “Ibrahim berkata: “Sesungguhnya fitnah Murjiah lebih dikhwatirkan dari
pada fitnah Azariqah.”
Muhamad bin Ali bin Al Husain (Wafat th. 118 H)
Muhamad bin Muslim berkata, Abu Ja’far Muhamad bin Ali bin Al Husain berkata: “Tidaklah
kemiripan malam dan siang melebihi kemiripan Murjiah dan Yahudi.”
Abu Hatim, Lc.

SALAFY MURJIAH 2

Antara Flu Burung Dan Flu Murji’ah II
2. Siapa rujukan sang Khatib?
Sang khatib menjadikan DR. Khalid al Anbari sebagai rujukan dalam khutbahnya yaitu dengan
bukunya: Atsar al Qawanin al Wadh’iyah Fil Hukmi ‘Ala ad Daar bil kufri Wal Islam. Jika diteliti
lebih lanjut, Khalid al Anbari merefer karyanya tersebut kepada salah satu kitab karyanya sendiri
yaitu Al Hukmu Bighairi Maa Anzalallah Wa Ushul At Takfir. Yang dalam hal ini Khalid al Anbari
membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka secara otomatis sang ustadz pun
mengekor kepadanya. Lantas Siapakah Khalid al Anbari sehingga sang khatib menjadikannya
sebagai rujukan ? 1. Dia adalah salah satu tokoh Neo Murjiah 2. Sering Berdusta atas nama
ulama; dusta atas nama Syaikh Muhammad Ibrahim Alu as Syaikh, dusta atas nama Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dll 3. Menafsirkan prnyataan ulama seenaknya 4. Menukil
pendapat yang hanya menguntungkan 5. Mendistorsi dalil-dali syar’i. 6. Tidak amanah dalam
mengutip dalil. 7. Mengatakan Ijma’ bahwa tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir.
Padahal yang ada adalah sebaliknya, orang yang tidak berhukum dengan hokum Allah adalah
kafir yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama. Masalah tidak berhukum dengan hukum
Allah bisa dilihat dari sisi ‘aqidi dan amali. Prof. DR. Shaleh bin Abdurrahmna Al Mahmud telah
menjelaskan masalah ini dan menjawab syubhat Khalid al Anbari dalam bukunya Al Hukmu
Bighairi Maa Anzalallah Ahwaluhu Wa Ahkamuhu. 8. Memusuhi Komisi Fatwa Ulama Saudi yang
mengeluarkan fatwa bahwa dia berfaham murji’ah. Yang kemudian dia (Khalid al Anbari)
membantah fatwa tersebut dengan judul Al Maqalat al Anbariyah Fir Raddi ‘Ala al Lajnah”. 9.
Pendapatnya yang menyimpang, mendapat perhatian khusus dari Syaikh Shaleh Fauzan.
Sehingga beliau menulis artikel yang dimuat oleh Majalah Ad Dakwah, edisi 1749, 4 Rabi’ al
Akhir 1421H berkaitan dengan kritik atas ideology Khalid al Anbari. 10. Oleh sebab itu Komisi
Fatwa Arab Saudi berkaitan dengan DR. Khalid al Anbari mengeluarkan pernyataan; buku
tersebut dilarang diedarkan, dilarang diperjual belikan, penulisnya harus bertaubat kepada Allah,
hendaknya merujuk dan belajar kepada ulama yang tsiqah agar mereka menjelaskan dimana
kekeliruannya. Orang yang disuruh bertaubat dan belajar kok dijadikan rujukan? Yang ada dhallu
wa adhallu. 3. Antara Ulil Amri Syar’I dan Ulil Amri Versi sang Khatib Di sini perlu kiranya kita
merenungkan pernyataan Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari dalam bukunya “Al Wajiz Fi
Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169) . Beliau berkata: “Adapun jika
(para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan
yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib
mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan
keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya. Ulil Amri
berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum
muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan,
memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin
dan memusuhi orang-orang kafir. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan
kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini
diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan)
untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk
merealisasikan tujuan kepemimpinan. Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari
para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-
nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat
Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (Ulil Amri pent-) yang tidak
menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah Ulil Amri. Yang dimaksud
kepemimpinan (Ulil Amri) adalah menegakan agama. Yang namanya Ulil Amri adalah yang
menegakan agama. Kemudian setelah itu bisa disebut ulil amri yang baik atau yang buruk .
Dalam mendefinisikan ulil amri, Ali bin Abi Thalib berkata: “Manusia harus mempunyai
pemimpin baik yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya; Kami telah tahu yang
dimaksud pemimpin yang baik. Lantas bagaimana dengan maskud pemimpin yang buruk (zalim)
itu? Dijawab; jalanan menjadi aman, ditegakan hudud, musuh diperangi dan Fa’I dibagikan”.(Ibn
Taimiyah, Minhaj as Sunnah, 1/146). Inilah definisi minimal yang namanya Ulil Amri secara
syar’i, jadi tidak cukup yang hanya memiliki teritorial sebagaimana yang diklaim oleh sang
khatib. 4. Mengkritik pemerintah harus dengan sembunyi-sembunyi dan Negri islam Patokannya
Adzan. Dalam masalah ini sebenarnya tidak mutlak harus dengan sembunyi-sembunyi. Abu Said
Al Khudri meriwayatkan hadits yang berbunyi; ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺪﻴﻌﺳ ﻲﺿﺭ ﻱﺭﺪﺨﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﺖﻌﻤﺳ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻝﻮﻘﻳ ﻢﻠﺳﻭ : ﻦﻣ ) ﺍﺮﻜﻨﻣ ﻢﻜﻨﻣ ﻯﺃﺭ ﻩﺪﻴﺑ ﻩﺮﻴﻐﻴﻠﻓ ، ﻥﺈﻓ ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﻪﻧﺎﺴﻠﺒﻓ ، ﻥﺈﻓ
ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﻪﺒﻠﻘﺒﻓ ، ﻚﻟﺫﻭ ﻒﻌﺿﺃ ( ﻥﺎﻤﻳﻹﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ . ِ Abu Sa’id Al Khudri adalah yang meriwayatkan
hadits tersebut dari Nabi saw. kemudian ketika beliau melihat ada kemunkarang yang dilakukan
salah satu Khalifah pada masa bani Umayah. Yaitu ketika sang Khalifah melakukan khutbah
sebelum melakukan shalat ied terlebih dahulu. Maka Abu Sa’id tidak membiarkan hal itu dan
langsung beliau berdiri dan menegur sang khalifah di depan rakyatnya. Apakah Abu Sa’id keliru?
Atau apakah tidak mengetahui adab mengkritik penguasa? Salah seorang Ahli Hadits Sudan, as
Syaikh al ‘Allamah Musaid Basyir Ali menyatakan dalam ceramahnya ketika ditanya seputar
permasalahan ini; Boleh mengkritik pemerintah secara terang-terangan jika pemerintah
melakukan kemungkaran secara terang-terangan. Dan tidak boleh mengkritiknya secara terang-
terangan jika kemungkaran yang dilakukan tidak secara terang-terangan. Jadi antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya tidak terjadi kontradiktif. Permasalahan patokan suatu negri dikatakan
negri Islam atau bukan, ini adalah permasalahan yang membutuhkan tulisan dan waktu yang
panjang. Ketika Syaikh Musaid ditanya seputar maslah ini, beliau menerangkan bahwa adzan
merupakan salah satu dari sebagaian syi’ar Islam dan bukan satu-satunya untuk menghukumi
sebuah negri menjadi negri islam. Di halaman sebelumnya sebenarnya permasalahan ini sudah
disinggung. Ada kaitannya dengan boleh tidaknya berhukum dengan selain hukum Allah. Dengan
demikian, Kalangan yang membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah dan boleh
menyelisihi sunah nabiNya, maka mereka berpendapat negri tersebut negri Islam. Syaikh Bin
Baz termasuk yang mengatakan bahwa Negara Bahrain adalah Negara kafir ketika masih
dikuasai Prancis meskipun adzan dan shalat tetap diperbolehkan oleh Prancis. Dan perlu
dicatat, yang memiliki teritorial saat itu adalah Bangsa Prancis tetapi Syaikh bin Baz tidak
menghukumi negri tersebut dengan negri Islam. Jadi memiliki territorial, adzan dan shalat belum
cukup dikatakan sebagai negri Islam. Wallahu a’lam.

SALAFY MURJIAH

Antara Flu Burung Dan Flu Murji’ah I
ANTARA ‘FLU’ BURUNG DAN ‘FLU’ MURJI’AH
Muqaddimah
Tulisan ini merupakan salah satu koreksi atas khutbah kedua dalam shalat Jum’at yang
disampaikan oleh seorang ustadz salafi maz’um di salah satu masjid yang ada di daerah Bekasi.
Jika saya ringkas syubhat yang disampaikannya adalah sebagai berikut: Tidak utuh dalam
menyampaikan hadits, secara tidak langsung membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah
dan rasulNya, boleh pedoman dengan selain pedoman nabi saw, menjadikan DR. Khalid al
Anbari sebagai rujukan, menasehati penguasa harus dengan sembunyi-sembunyi dan lain
sebagainya.
1. Tidak utuh dalam membawakan hadits dan pemahamannya
a . Hadits tentang:
ﻥﺇﻭ ﻢﻜﻴﻠﻋ ﺮــﻣﺄﺗ ﺪﺒﻋ ﻲﺸﺒﺣ
“Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang hamba sahaya”
Sang Ustadz dalam menyampaikan hadits hanya berhenti pada kalimat tersebut. Padahal hadits
itu masih ada lanjutan meskipun harus melihat dalam redaksi yang lain. Karena antara satu
hadits dengan yang lainnya saling berkaitan. Coba perhatikan hadits berikut:
ْﻥِﺇ َﺮِّﻣُﺃ ٌﺪْﺒَﻋ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ٌﻉَّﺪَﺠُﻣ ﺎَﻬُﺘْﺒِﺴَﺣ ْﺖَﻟﺎَﻗ ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ُﺩَﻮْﺳَﺃ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ﺍﻮُﻌَﻤْﺳﺎَﻓ ُﻪَﻟ ﺍﻮُﻌﻴِﻃَﺃَﻭ
“Selama dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi
Ma’shiyah Wal Imam Junnah.
Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit
perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:
ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ .
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi ﺎﻣ ﻡﺎﻗﺃ ﻢﻜﻟ ﻪﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ (selama mereka menegakan
kitab Allah).
Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama
menegakan hukumNya juga mencakup Sunah nabiNya”.
Dalam hadits tersebut; syarat pemimpin yang ingin dita’ati adalah pemimpin yang menegakan
hukum Allah.
Dalam Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Pada dasarnya, Imam dibae’at agar melakukan yang haq,
menegakan hudud, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar” .
Dalam Syarhnya, Imam Nawawi berkata: “Al Qadhi berkata; Jika imam melakukan kekufuran,
merubah syari’at atau melakukan bid’ah maka ia telah keluar dari statusnya sebagai pemimpin
dan haknya untuk dita’ati telah gugur. Wajib bagi kaum muslim berusaha untuk mencopot dan
menggantinya dengan pemimpin yang adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka… Dan tidak
wajib mencopot (pemimpin) pelaku bid’ah kecuali jika mereka mampu. Akan tetapi jika tidak
mampu maka tidak wajib mencopotnya”.
Para ulama lain menyatakan yang dimaksud kalimat tersebut adalah; memimpin rakyatnya di
atas Islam, bangga dengan Al Quran, tidak murtad, tidak menolak sunnah, menjadikan agama
resmi negara adalah Islam dan sumber hukumnya adalah Syariat Islam .
Jadi jelas, hadits ini tidak seperti yang difahami sang khatib, boleh menyelisihi Nabi saw secara
total baik dalam masalah pemilihannya, pengaturannya, hukumnya dan lain sebagainya. Karena
hal tersebut bisa masuk dalam katagori kafir.
Para ulama ketika menjelaskan tentang permasalahan ini baik Imam Nawawi, Ibn Hajar, Ibn
Taimiyah dan ulama lainnya; Mereka menyatakan tidak boleh orang kafir dengan kekufuran yang
nyata menguasai Umat Islam. Jika penguasa tersebut kafir, maka umat pun tidak wajib ta’at .
Bahkan wajib bagi Umat Islam dalam hal ini adalah Ahlul Hall Wal ‘Aqd mencopot dan
mengganti pemimpin tersebut .
Bahkan jika jelas terlihat kekafirannya, para ulama pun sepakat membolehkan melawan
penguasa tersebut dengan tetap melihat maslahat dan madharat serta kemampuan yang
dimiliki umat.
Ust. Yazid Jawas sendiri menyatakan; Ahlus Sunnah Melarang Memberontak Kepada
Pemerintah…Hal ini berlaku bagi pemimpin Muslim yang berbuat zalim dan aniaya, yang masih
menggunakan syariat Nabi saw . Namun apabila pemimpin itu telah kafir maka boleh
memberontak kepadanya dengan syarat-syarat yang ada pada pembahasan selanjutnya” .
Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, Rasul saw bersabda: “Akan muncul kepada kalian para
penguasa yang memerintahkan kepada kalian sesuatu yang tidak kalian kenali, mengerjakan
perbuatan yang kalian ingkari. Maka tidak ada kewajiban atas kalian menta’ati mereka.
Ibn Abbas berkata; Ada tiga ayat yang masing-masing mengandung dua komponen antara yang
satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Salah satunya adalah ayat yang berbunyi; ﺍﻮﻌﻴﻃﺃ ﻪﻠﻟﺍ
ﺍﻮﻌﻴﻃﺃﻭ ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ (ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul).
Membolehkan menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya adalah bertentangan dengan banyak dalil
baik dari Al Qur’an, Sunnah, maupun pendapat ulama. Bertentangan juga dengan tauhid uluhiyah
dan iqrar seseorang bahwa ia rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Rasul saw
sebagai nabi.
Diantara hakikat tauhid uluhiyah adalah Mengesakan Allah dalam beribadah, berlepas diri dari
seluruh sesembahan selain Allah, tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak bertawakkal dan
berhukum kecuali kepada Allah, tidak mengambil petunjuk (pedoman) kecuali yang bersumber
dari Allah, tidak beramal kecuali untuk Allah, tidak mencintai dan memusuhi kecuali karena Allah.
b. Tentang Hadits
ﻥﻮﻜﻴﺳ ﻦﻣ ﻱﺪﻌﺑ ﺔﻤﺋﺃ ﻻ ،ﻱﺍﺪﻬﺑ ﻥﻭﺪﺘﻬﻳ ﻻﻭ ﻥﻮﻨﺘﺴﻳ ﻡﻮﻘﻴﺳﻭ ،ﻲﺘﻨﺴﺑ ﻢﻬﻴﻓ ﻝﺎﺟﺭ ﺏﻮﻠﻗ ﻢﻬﺑﻮﻠﻗ
ﻦﻴﻃﺎﻴﺸﻟﺍ ﻲﻓ ﻥﺎﻤﺜﺟ ،ﺲﻧﺃ ﻝﺎﻗ :ﺔﻔﻳﺬﺣ :ﺖﻠﻗ ﻒﻴﻛ ﻊﻨﺻﺃ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﺖﻛﺭﺩﺃ ﻥﺃ ﻪﻠﻟﺍ ؟ﻚﻟﺫ ﻊﻤﺴﺗ :ﻝﺎﻗ ﻊﻴﻄﺗﻭ
،ﺮﻴﻣﻷﺍ ﻥﺇﻭ ﻙﺮﻬﻇ ﺏﺮﺿ ﺬﺧﺃﻭ ﻊﻃﺃﻭ ﻊﻤﺳﺎﻓ ﻚﻟﺎﻣ .
Dengan dalih hadits ini, sang khatib menyatakan; inilah dalil yang menunjukan wajibnya taat
kepada penguasa meskipun mereka tidak menggunakan pedoman dan sunnah Sabi saw dalam
perkara apa saja; pemilihannya, aturan atau hukumnya dan lain sebagainya.
Sebelum menjelaskan hadits tersebut secara ringkas, di sini perlu disampaikan sebagian
komentar para ulama:
1) Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut sanadnya terputus. Karena salah seorang
rawinya yang bernama Abu Salam Mamthur Al habasyi Ad Dimasyqi tidak mendengar dari
sahabat Abu Hudzaifah. Maka haditsnya dari Hudzaifah adalah mursal.
Ibn Hajar dalam kitab ‘Tahdzib at Tahdzib 10/296 menyatakan; Abu Salam melakukan irsal dari
Hudzaifah, Abu Dzarr dan dari selain keduanya’.
Dalam mengomentari hadits tersebut Fuad Abdul Baqi berkata: “Dia tidak mendengar dari
Hudzaifah”.
Dalam menjelaskan Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata: “Hadits ini mursal, meskipun
matannya benar sesuai dengan jalur yang pertama.
2) Terlepas dari permasalahan validasi hadits tersebut, maka hadits itu tidak boleh difahami
begitu saja. Yang dimaskud menyelisihi sunnah dan petunjuk Nabi saw tersebut adalah dalam
sebagian permasalahan. Dengan tetap menjadikan syari’at Islam sebagai sumber hukum.
Selain alas an yang dikemukakan di muka, alas an lainnya adalah Imam Muslim meletakan
hadits tersebut jauh sesudah hadits:
ْﻢُﻛُﺩﻮُﻘَﻳ ِﻪَّﻠﻟﺍ ِﺏﺎَﺘِﻜِﺑ .
Ini artinya antara hadits yang satu dengan hadits yang lain saling berkaitan dan
tidak berdiri sendiri.
3) Setiap kita harus melihat bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi kalangan yang tidak
mau menggunakan petunjuk Nabi saw. Lihat bagaimana sikap; Abdullah bin Umar, Imran bin
Hushain, Abdullah bin Mughaffal, Ibn Abbas, Said ibn Musayyab, Malik, Ahmad, Ibn Taimiyah,
Ibn Qayyi al Jauziyah dan ulama-ulama lainnya ketika ada kalangan yang berpaling dari sunnah
Rasul saw .
Dengan jelas dan tanpa tedeng aling-aling maka saya bisa memastikan khatib tersebut sedang
terkena Flu Murjiah yang jauh lebih berbahaya dari pada Flu Burung.
Dalam kitab Ar Rudud, Bakr Abu Zaid menyatakan: Pengaruh yang paling buruk dari ‘Flu’ Murjiah
pada masa kini adalah ‘Syirk at Tasyri’’ syirik dalam masalah hokum (undang-undang) dengan
membolehkan keluar dari syariat Rabb langit dan bumi…hal ini menurut kaum Murjiah tidak
dianggap sebagai sesuatu bentuk kekafiran. Apa yang dinyatakan beliau dalam Ar Rudud adalah
sama dengan yang dinyatakannya dalam kitabnya ‘Dar’ul Fitnah ‘An Ahli as Sunnah…
bersambung

Selasa, 08 Mei 2012

Fakta perpecahan "salafy"

Fakta Perpecahan di Tubuh “Salafi”
Kata salafi kerap dianggap sebagai kata sakti untuk mengobati perpecahan umat. Tapi sayang,
mereka yang gemar menyandang gelar salafi ternyata manusia yang paling berpotensi tafarruq
alias berpecah-belah. Ada perbedaan sedikit saja, akan menjadi persoalan besar yang
menggegerkan. Tahdzir (hujatan) mudah sekali diobral untuk menghasilkan efek: jika semua
orang bisa dibongkar aibnya, maka pendengar secara otomatis akan menganggap saya yang
paling benar !
Tradisi menghujat ini pada gilirannya menular kepada murid-murid para ustadz salafi. Seolah
dengan memiliki ilmu menghujat (tahdzir) akan membuat kualitas keimanan seseorang makin
mantap. Bahkan bukan hanya memiliki ilmu tersebut, tapi lebih jauh menghayatinya sampai
mendarah-daging. Kualitas keimanan penganut “salafi” ditentukan oleh kualitas dan kuantitas
hujatan yang mampu ia obral !
Berikut fakta-fakta yang akan membuat Anda makin paham apa itu salafi dan apa isi kepalanya.
Supaya Anda tidak perlu sakit hati jika mendengar mereka sedang menghujat, karena memang
tahdzir (menghujat) adalah salah satu bentuk “ibadah” penganut “salafi-murjiah” modern !
Mukaddimah
Dari Abu Najih Irbad bin Sariyah, Rasulullah saw bersabda: “Dan siapa diantara kalian yang
(kelak) masih hidup, maka ia akan banyak menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpegang
teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk
setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah
oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah
dan setiap bida’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Tema tentang salaf dan salafi barangkali sudah terlalu sering dibahas. Secara ringkas, Salaf
adalah manhaj yang telah ditempuh oleh generasi terbaik umat ini; sahabat, tabi’in dan tabi’
tabi’in. Adapun salafi adalah sosok yang senantiasa berusaha untuk meniti jejak langkah mereka
baik dalam masalah akidah, ibadah maupun mu’amalah.
Imam Auza’i menyebutkan lima hal yang senantiasa melekat pada diri sahabat Nabi saw dan
kalangan tab’in; senantiasa bersama dengan al jama’ah (Ahli Sunnah Wal Jama’ah), mengikuti
sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad di jalan Allah” . [ 1 ]
Apa yang disebutkan Imam Auzai’ merupakan sebagian contoh yang dilakukan kalangan salaf.
Maka salafi adalah sosok yang berusaha meniti jejak langkah mereka siapa saja orangnya. Dan
jika ada yang mengklaim dirinya salafi tapi jauh dari kelima hal tersebut maka label salafi tidak
ada artinya sama sekali.
Salafi bukanlah sosok yang hanya mendengar perkataan dari ustadz atau kelompoknya saja
dengan meremehkan kalangan yang lain. Salafi bukanlah sosok yang mengatakan Lebih baik
mati dalam keadaan bodoh dari pada ngaji dengan ust. Fulan. Mereka berdalih, dalam rangka
merealisaiskan pernyataan para ulama hadits terdahulu dalam memberlakukan kaidah jarh dan
ta’dil.
Syaikh Bakr Abu Zaid [2] –rahimahullah- dalam bukunya Tashnif An Naas Baina ad Dzan Wal
Yaqin telah mencium gelagat tersebut. Beliau menyatakan: “Terkadang dia menempuh cara yang
dilakukan oleh sebagian ahli hadits terhadap para perawi yang lemah, – dan alangkah berbeda
kedua jalan itu…semua itu adalah perbuatan syetan. Dan dari sinilah jiwanya merasa senang
dengan pandangan para pengkritik itu. Yaitu ketika mereka berhasil memalingkan perhatian dari
apa-apa yang seharusnya diperhatikan, lalu orang-orang sibuk saling mencela antar sesamanya”.
Tiga Sifat Salafi Ekstrim
Dalam diri kelompok salafi –meski tidak semuanya- terdapat tiga sifat ekstrim; sifat Khawarij,
Murjiah dan Rafidhah. Khawarij dalam arti bersikap arogan, kasar, memusuhi, memblacklist,
membid’ahkan setiap da’i, aktifis atau ustadz yang bukan dari kalangannya atau yang berbeda
dengannya meski mengklaim sesama salafi.
Mereka Murjiah dalam arti lembut, lunak, menolong, membantu, mencintai, siap menjadi garda
terdepan dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang anti dengan syariat Islam atau
musuh Islam. Padahal Syaikh Bakr Abu Zaid dengan mengutip perkataan Ibn Al Qayyim berkata:
“Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya dan membuat
hukum baru yang menyelisihi keduanya”.
Mereka juga bersikap Rafidhah dalam arti menolak semua kelompok dan mengklaim hanya
kelompoknya yang benar dan selamat adapaun yang lainnya adalah kelompok yang akan binasa
dan neraka tempatnya. Hal ini seperti yang terjadi di Mu’tamar Ahli Sunnah di Texas Amerika;
Salim Hilali, Ali Hasan Al Halabi dan Usamah Al Qushi dalam obrolannya menyatakan Jama’ah
Tabligh dan Jam’iyyah Syar’iyyah merupakan kelompok yang akan masuk neraka. Yang kemudian
mereka ditegur oleh Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Shafwat Nuruddin rahimahullah .
Mereka menyatakan kelompok-kelompok yang ada adalah hizbiyah dan yang tidak hizbiyah
hanyalah kelompoknya. Namun ternyata kalangan seperti ini jauh lebih berhizbiyah dari pada
kalangan lainnya. Ini namanya ‘Maling Teriak Maling’.
Perpecahan Salafi
Seorang ustadz senior salafi ketika ditanya dalam salah satu siaran radio islami, kenapa
kalangan salafi berbeda-beda? Ustadz tersebut hanya menjawab perbedaan yang terjadi
hanyalah perbedaan dalam masalah furu’ bukan masalah prinsifil. Benarkah apa yang dikatakan
sang ustadz? Atau hanya sekedar menutupi agar para muridnya tidak tahu hakikat yang
sebenarnya, bahwa memang telah terjadi perpecahan yang cukup dahsyat sehingga antara yang
satu dengan yang lain saling membid’ahkan? Kalau memang perbedaan itu bukan dalam
masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi
tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di
atasnya.
Dalam hadits tersebut –hadits Irbad bin Sariyah- Rasulullah saw telah mengabarkan kepada
kita, bahwa umat ini akan mengalami perselisihan dan perpecahan. Tidak luput dari hadits
tersebut adalah kelompok yang menamakan dirinya salafi yang kini sudah berkeping-keping
menjadi beberapa kelompok.
Bagi penulis sulit rasanya untuk memastikan kapan awal perpecahan itu terjadi. Hanya saja
Syaikh Bakr Abu Zaid paling tidak delapan belas tahun yang lalu beliau telah merasakan adanya
perpecahan dalam tubuh salafi. Beliau menyatakan: “Sepanjang yang saya ketahui, perpecahan
yang terjadi dalam barisan Ahli Sunnah ini merupakan musibah yang pertama kali terjadi,
dimana orang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahli Sunnah) justru mencela Ahli Sunnah.
Dan memposisikan dirinya sebagi tentara untuk menyerang dan menebar kekacauan dan
memadamkan semangat mereka, menghadang di jalan dakwah mereka dan melepaskan tali
kendali lisan untuk mencela kehormatan para da’i dan membuat rintangan di jalan dakwah
mereka dengan fanatisme buta”.
Pernyataan Syaikh Bakr dalam bukunya tersebut sebenarnya ditujukan kepada siapa saja yang
hobinya menggolong-golongkan manusia, tanpa menunjuk hidung seseorang. Sehingga dalam hal
ini Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali merasa tersinggung dan membantah buku tersebut dengan
judul Al Hadd Al Fashil Bainal Haqq Wal Bathil yang kemudian bukunya (Syaikh Rabi’) dibantah
lagi oleh Syaikh Abu Abdillah An Najdi dengan judul ‘Nadzarat Salafiyyah Fii Aaraa As Syaikh
Rabi’ Al Madkhali.
Belum lagi perseteruan antara Syaikh Rabi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq. Sehingga
pada tahun 1997 kalangan salafiyah Kuwait meminta pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz
tentang sikap Syaikh Rabi yang kasar dan arogan. Maka Syaikh menyatakan dalam fatwanya:
“Adapun Syaikh Rabi’ aku akan menulis surat untuknya dan akan aku nasehati” .
Akhir-akhir ini perseteruan antar tokoh salafi seperti Syaikh Rabi’ dengan Syaikh Ali Hasan Al
Halabi, Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi, Syaikh Usamah Al Qushi, Syaikh Falih Al Harbi [ 3 ] dan
lain-lain semakin membara bagaikan api yang sulit dipadamkan. Padahal sebelumnya mereka
sangat memuliakan Syaikh Rabi’ dan menganggapnya sebagai imam Ahli Sunnah dan imam Jarh
Wa Ta’dil pada masa ini. Tidak bisa dipungkiri imbasnya adalah apa yang terjadi di sana terjadi
juga di Indonesia.
Salafiyah Murjiah
Kalangan salafi jelas tidak menerima istilah ini dan menuduh kalangan yang melabelinya dengan
sebutan khawarij, ikhwani, quthbi, sururi dan lain-lain. Di sini perlu dicatat bahwa justru yang
menyebut salafi dengan label tersebut datang dari sosok yang telah lama berinteraksi dengan
Syaikh Albani dan pernah terjerumus dalam faham Murjiah, yaitu Syaikh Abu Malik Muhammad
Ibrahim Syaqrah dalam bukunya Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud. Beliau
menyebutnya dengan As Salafiyyah Al Murji’ah, Firqah As Salafiyah Al Murjiah, As Salafiyah Al
Murji’ah Al Jadidah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
Setelah mengakui kekeliruannya dalam masalah iman yang terjerumus kepada faham Murji’ah
maka beliau bertaubat dan sebagai bentuk keseriusan taubatnya beliau menulis dua buku Aina
Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud (Dimana Letak (kalimat) Laa Ilaaha Illallah
Dalam Agama Murjiah Kontemporer) , A Akhta’a An Nabiyyun Wa Ashaba Al Atsariyyun (Apakah
Para Nabi Yang Salah dan Kalangan Atsariyun (Salafiyun) Yang Benar?) , dan beliau memberi
pengantar kitab Haqiqah Al Iman ‘Inda As Syaikh Al Albani (Hakikat Iman Menurut Syaikh Albani).
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Di Indonesia Syaikh Ali Hasan Al Halabi bagaikan qadhi (hakim), yang memegang keputusan dan
kendali. Bahkan dianggap sebagai imam jarh dan ta’dil. Jika ada seorang syaikh yang datang ke
Indonesia maka ia akan dimintai fatwa dan pendapatnya tentang sosok syaikh tersebut. Jika Ali
Hasan mengatakan bahwa syaikh tersebut sururi atau label lainnya maka pengikutnya yang ada
di Indonesia akan manut dan langsung mem-pending seluruh jadwal syaikh tersebut. Ali Hasan di
kalangan mayoritas salafi Indonesia mempunyai kedudukan yang tinggi. Jika ada yang mengkritik
atau mencelanya maka sama artinya dengan mencela Syaikh Albani. Kenapa kalangan salafi
Indonesia lebih mengidolakan Ali Hasan yang tidak sedikit para ulama menyatakan dia adalah
orang yang sesat dan menyesatkan?
Di sini penulis perlu menjelaskan secara ringkas siapa Syaikh Ali Hasan dan tentunya hal ini pun
berdasarkan fakta dan data yang dikemukakan oleh kalangan yang tahu perisis tentang Syaikh Ali
Hasan sehingga kita tidak terjebak dalam kultus individu dan kelompok.
1. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dalam fatwa pengharaman dua kitab Ali Hasan Fitnah At
Takfir dan Shaihah Nadzir menggambarkan sosok Ali Hasan dengan: madzhabnya dalam
masalah iman adalah madzhab Murji’ah yang bid’ah dan bathil, menyeleweng dalam menukil
perkataan Ibn Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim, dusta atas nama Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah, menafsirkan pendapat ulama tidak sebagaimana yang mereka maksudkan,
meremehkan masalah tidak berhukum dengan hukum Allah, hendaknya ia mencabut pendapat-
pendapat ini, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah pada dirinya yaitu dengan kembali kepada
kebenaran, hendaknya bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu syar’i kepada ulama yang
keilmuannya terpercaya dan akidahnya benar.
Ali Hasan adalah sosok yang ngeyel sehingga ia pun membantah fatwa Komisi Fatwa dengan Al
Ajwibah Al Mutalaimah ‘An Fatwa Lajnah Daimah. Bantahannya tersebut dibantah lagi oleh
Syaikh Muhammad Ad Dausari yang diberi pengantar oleh beberapa ulama senior namun Ali
Hasan tetap ngeyel dan membantah buku tersebut.
2. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah. Beliau pernah menjadi penengah dalam debat Ali Hasan
dan DR. Abu Ruhayyim [4] yang kemudian beliau membenarkan dan memuji apa yang
disampaikan DR. Abu Ruhayyim. Dalam kasus ini Ali Hasan tidak amanah dalam menukil
pendapat ulama. Sampai-sampai Syaikh Syaqrah marah dan mengatakan; kalau bukan kamu
maka akan saya potong tangannya.
Dalam bukunya ‘Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fi Dien Al Murjiah Al Judud , Syaikh merujuk dan
memuji buku yang ditulis Syaikh Muhammad Ad Dausari. Hal ini sangat berbeda dengan Ali
Hasan yang justru mencela dan membantahnya. Bahkan dalam bukunya, Syaikh Syaqrah
menyebut Ali Hasan sebagai ‘Embrio Salafiyah Murji’ah’.
Kalangan salafi banyak yang merujuk kepada pembelaan Syaikh Husain Alu Syaikh salah seorang
ulama Madinah yang menyebut Ali Hasan dengan saudara senior. Harusnya merekapun
membaca apa yang ditulis putra Syaikh Muhammad Syaqrah yaitu Ashim bin Muhammad
Syaqrah yang menulis bantahan ‘Ar Rudud Al Ilmiyah As Saniyyah yang ditujukan kepada Ali
Hasan dan pendukungnya, termasuk Syaikh Husain. Diantara salah satu pernyataannya;
Bagiamana bisa dikatakan saudara senior? Dari sisi usia jelas Ali Hasan lebih muda dari Syaikh
Husain. Dan jika dilihat dari sisi keilmuan jelas orang-orang yang duduk di komisi Fatwa jauh
lebih senior dari pada Ali Hasan.
Kembalinya Syaikh Muhammad Syaqrah kepada faham Ahli Sunnah dalam masalah iman diakui
juga oleh Abu Muhammad Al Maqdisi dalam Tabshir Al Uqala Bi Talbisat At Tajahhum Wal Irja’
dan Syaikh Abu Bashir. Bahkan Abu Bahsir menulis artikel dengan judul Li As Syaikh Muhammad
Syaqrah ‘Alayya Dain (Aku Mempunyai Utang Kepada Syaikh Muhammad Syaqrah). Ketika Abu
Bashir meminta maaf atas kata-katanya yang kasar –dalam buku-bukunya terdahulu- maka
Syaikh Syaqrah mengatakan: “Ya Abu Bashir, anda tidak perlu meminta maaf. Kalian berada
dalam jalan yang haq dan benar. Apa yang telah anda tulis, (dan yang ditulis oleh) Abu
Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah benar dan haq. Maka aku katakan kepada
manusia: sesungguhnya anda, Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah haq dan
benar maka tidak perlu meminta maaf. Orang yang benar tidak layak meminta maaf atas
perkara yang ia berada di atasnya”.
3. Dalam buku saku Ma’a Syaikhina Nashir As Sunnah Wa Ad Dien Fi Syuhur Hayatihi Al Akhirah,
Ali Hasan menyebutkan; Ketika Syaikh (Albani) dikubur aku memang jauh darinya, namun aku
adalah sosok yang paling akhir berbicara dengan Syaikh. Abdullatif, salah seorang putra Syaikh
Albani menyatakan bahwa yang paling terakhir berbicara dengannya selain keluarga dan
kerabatnya adalah salah seorang ikhwah dari Bahrain. Ini menunjukan kebohongan Ali Hasan
sang qadhi dan Ahli Jarh dan Ta’dil salafi Indonesia.
4. Ali Hasan adalah sosok yang suka melakukan plagiat dan mencuri karya orang lain yang
kemudian dinisbatkan kepada dirinya. Syaikh ‘Awadhallah pernah mengeluhkan permasalahan
ini kepada Syaikh Bakr Abu Zaid. Bahkan Abdul Aziz bin Faishal membuat artikel dengan judul Al
Farq Baina Al Muhaqqiq Wa As Sariq (Perbedaan Antara Muhaqqiq Dan Pencuri) kemudian
menyebutkan beberapa bukti di antaranya Ali Hasan mencuri hasil tahqiq Al Thanahi dan Az
Zawi dalam kitab An Nihayah karya Ibn Atsir dan mayoritas dari karya-karyanya banyak
membela dirinya dengan berlindung di balik nama besar Syaikh Albani. Padahal Ali Hasan tidak
pernah duduk lama-lama belajar dengan Syaikh Albani hal ini dikarenakan Syaikh juga sibuk
dengan tahqiq, takhrij dan ta’liq. Dengan Syaikh Albani, Ali Hasan hanya tuntas membaca kitab
kecil Nukhbah Al Fikr.
5. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ‘an Ahli Sunnah (Menepis Fitnah Yang
menimpa Ahli Sunnah) secara tidak langsung menyindir Ali Hasan. Beliau menyebutkan diantara
dampak negatif faham murjiah adalah meremehkan urusan shalat dan pemberlakuan syari’at
Allah untuk mengadili manusia. Bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada
thaghut padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Jelas dalam dua buku Ali
Hasan; Fitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir dia meremeh kedua masalah tersebut dan
menyatakan bahwa orang yang sibuk dengan masalah penegakan hukum Allah adalah mirip
dengan Rafidhah. Jelas ini sebuah kekeliruan dan keseatan.
6. Asy-Syaikh Rabi’ al Madkhali ditanya tentang ‘Ali Al-Halaby, maka Asy-Syaikh menjawab:
“Saya akan jelaskan kepada kalian keadaan ‘Ali Al-Halaby. Selama sepuluh tahun kami bersabar
atas dia dan apa yang dimunculkan dari fitnahnya, sedang dia memperkuat fitnah tersebut dan
berusaha untuk memecah belah dan membuat musykilah, diantaranya: Dia memberi kata
pengantar pada kitabnya Murad Syukri yang mana padanya ada aqidah murji’ah dan istidlal
(pendalilan) dengan ucapan ahlu bid’ah.
Penutup
Syaikh Albani termasuk yang menyatakan bahwa kata As Salafi yang kemudian diikuti dengan Al
Atsari adalah kalimat yang berat. Jika orang yang melabel dirinya dengan kata-kata itu
mengetahui maknanya maka ia akan berlepas diri dengan menanggalkannya. Hal ini diamini oleh
murid seniornya Syaikh Muhammad Syaqrah. Bahwa kata As Salafi jauh lebih berat dan
fitnahnya jauh lebih dahsyat dari pada kata Al Atsari maka sebaiknya tidak menggunakan label
tersebut karena akan melahirkan fanatisme, kesombongan dan meremehkan yang lainnya.
Perpecahan dalam tubuh salafi, saling membid’ahkan dan adanya klaim kebenaran rupanya
telah disinggung oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullah. Hal ini penulis tuturkan agar kalangan
salafi introspeksi dan melakukan evaluasi diri serta menyadari bahwa telah ada kekeliruan juga
dalam diri mereka.
Dalam mengomentari hadits di atas yaitu hadits ke 28 dalam Syarh Al Arbain An Nawawiyah
yang bersumber dari Irbad bin Sariyah beliau (Syaikh Al Utsaimin) berkata: “Dan tidak diragukan
lagi bahwa madzhab Umat Islam harus bermadzhab salaf bukan beravilial kepada hizb
(kelompok) tertentu yang menamakan dirinya dengan ‘SALAFIYYUN’. Yang menjadi keharusan
bagi Umat Islam adalah bermadzhab dengan madzhab As Salaf As Shalih bukan berhizbiyah
dengan nama ‘SALAFIYUN’. Di sana ada yang namanya Thariqah As Salaf (cara/metode salaf)
dan ada juga yang namanya kelompok ‘SALAFIYUN’. Dan yang dituntut adalah mengikuti salaf
(bukan beravilial kepada kelompok salafi). Meski demikian, ikhwah Salafiyun merupakan
kelompok yang paling dekat dengan kebenaran. Hanya saja permasalahan mereka adalah sama
dengan kelompok-kelompok yang lainya; saling menyesatkan satu sama lain, saling
membid’ahkan dan saling memfasikkan”.
Wallahu A’lam bis shawab
Abu Hatim, Lc
Catatan kaki
1. Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah karya Al Lalikai. Bahkan dalam masalah jihad
Rasulullah saw telah menjadikan sebagai bentuk tamasya umatnya. Seorang lelaki meminta izin
kepada Rasulullah saw untuk bertamasya. Maka beliau bersabda: “Tamasya umatku adalah
jihad di jalan Allah”. (HR. Abu Daud)
2. Anggota Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dan kitabnya ditulis sejak delapan belas tahun
yang lalu, yaitu pada tahun 1413H
3. Dosen Universitas Islam Madinah dan Direktur Ma’had Ilmi. Dulunya merupakan teman dekat
Syaikh Rabi’ namun akhir-akhir ini beliau kembali kapada jalan yang benar dalam memahami
masalah iman dan mengkritik tajam apa yang ditulis Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Rabi yang
keduanya terjerumus kepada paham murji’ah. Dalam masalah ini Syaikh Falih mendapat pujian
dari Prof. DR. Abdullah bin Abdurrahman Al Jarbu’ ketua Jurusan Akidah Universitas Islam
Madinah
4. Isteri Syaikh Albani memilihkan calon Isteri untuknya dan Syaikh Albani yang menyampaikan
nasehat dalam pernikahannya

Minggu, 06 Mei 2012

Senyum dan Wangi para syuhada'

Aisha Az-Zahra II
Senyum dan Wangi Para Syuhada, Bukti Karomah Allah Ta'ala Kepada Mujahidin
Senyum dan Wangi Para Syuhada
Melihat senyum orang yang mati syahid (syuhada) membawa kesan tersendiri bagi orang-orang beriman.
Dengan kain kafan seadanya, terkadang masih tercecer darah segar pasca pertempuran, selalu terlihat
senyum tersungging indah di bibir mereka, meski dengan beragam ekspresi. Pancaran kegembiraan dan
rasa puas yang tak terhingga seolah menjadi hal yang ingin mereka sampaikan kepada dunia.
Memang, Allah Ta'ala telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya
berbagai karomah, anugerah, ketinggian derajat dan kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-
ibadah yang lain.
Bahkan Nabi kita, tauladan kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan kuat untuk
mendapatkan keistimewaan ini, mati syahid. Lihatlah, betapa manusia terbaik di alam ini bercita-cita
pula untuk syahid fi sabilillah. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Demi yang jiwa Muhammad berada di tanganya, aku ingin berperang lalu mati syahid, kemudian
berperang lagi dan mati lagi, lalu berperang lagi dan mati lagi."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda :
"Berdiri satu jam di jalan Allah adalah lebih baik daripada berdiri shalat pada malam lailatul qadar di
samping Hajar Aswad." (HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi, dan yang lain)
Jihad fie sabilillah adalah puncak tertinggi (dzarwatus sanam) Islam, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam :
"Dzarwatus sanam (puncak tertinggi) Islam adalah jihad, tidak akan dapat mencapainya kecuali orang-
orang yang paling utama di antara mereka." (HR. Ath Thabrani)
Syekh Abdullah Azzam, pelopor jihad abad modern, banyak menceritakan karomah jihad dan mujahidin,
utamanya yang berjihad di Afghanistan. Beliau mengatakan bahwa di suatu ketika beliau sedang bersama
Jalaluddin Haqqani di Paktia dan melihat seorang mujahidin yang syahid. Beliau melihat betapa cerahnya
wajah si syahid seolah-olah memancarkan nur (cahaya). Saya teringat firman Allah yang berbunyi :
"Wujuhun yauma idzin nadhirah". Kami meneruskan perjalanan, lalu para pemuda yang hadir di sana satu
sama lain bertanya, "Apakah kalian mencium bau wanginya?" "Ya" kata yang lain, "Wangi sekali..."
Ghulam Muhyiddin dari Wardak menceritakan bahwa pada bulan Ramadhan 1404 H, yang saat itu musim
panas, gugur 15 mujahidin sebagai syuhada. Selama tiga bulan mereka berada di udara terbuka,
kepanasan dan kedinginan, namun tidak seorang pun dari mereka yang berbau busuk, malah sebaliknya,
bau mereka itu wangi.
Tentang wangi tubuh seorang yang mati syahid, Syekh Abdullah Azzam juga punya pengalaman sendiri.
Ketika beliau membawa surat yang diambil dari kantong Asy Syahid Abdul Wahid, panglima Baghman
yang gugur sesudah I'edul Adha tahun 1405 H. Surat yang terkena darah si syahid itu wangi sekali baunya,
meskipun sudah dua bulan surat itu ada di tangan beliau sejak dia tewas. Selain itu, sebuah surat yang
juga terkena darah syahid Yahya Siniyor, seorang mujahidin Arab berada di tangan Abul Hasan Al Madani
lebih dari dua bulan. Namun bau wanginya masih tetap. Lalu sebagian dikirimkan kepada keluarganya
agar dapat membuktikan sendiri bau wangi tersebut.
Dalam Risalah Taklimat, semacam peryataan sikap, Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi rahimahullah
pernah menyatakan : ...Dan seandainya kami dieksekusi, maka cucuran dan tetesan darah kami-Insya
Allah, bi izdnillah-akan menjadi nur (cahaya lentera) bagi kaum mukminin, dan menjadi nar (neraka, api
penghangus) bagi kaum kafirin dan kaum munafiqin...
Foto Senyum Para Mujahidin
Banyak foto mujahidin yang diekspos media menampilkan mereka semua sedang tersenyum, misalnya
foto asy syahid Syamil Basayev, seorang komandan mujahidin Chechnya, tersenyum tipis dengan wajah
putih berseri di antara lebatnya jenggot beliau.
Begitu juga foto Syekh Abu Mus'ab Az Zarqawi, yang syahid akibat bombardir rudal pasukan kafir
Amerika dan sekutu-sekutunya di Baqubah, Iraq. Fotonya dipublikasikan di seluruh media, terutama
internet. Foto beliau nampak tersebyum tipis (seperti foto Imam Samudra) dan dengan wajah yang
terlihat bersih dan utuh.
Begitu pula foto asy syahid Mulla Daadullah, mujahidin Afghanistan, juru bicara Emirat Islam Afghanistan,
Juga foto Syekh Abdul Rashid Ghazi, ulama mujahidin yang syahid dibantai toghut Pakistan di Masjid Lal.
Bahkan Komander Khattab, pemimpin Mujahidin Arab di Chechnya didokumentasikan oleh kawan-
kawannya ketika syahid dan kaum muslimin dapat dengan mudah mengakses foto tersebut.
Dalam salah satu video produksi Ar Rahmah Media berjudul The Caravan of Syuhada In Afghanistan
Land ; Seharum Angin Surga, seorang mujahid dari Afghanistan, Haidarah Hawin menceritakan bagaimana
kondisi komandan beliau Usamah Al Hamawi, rahimahullah, yang mendapatkan kemuliaan mati syahid di
medan jihad Afghanistan. Berikut kesaksiannya :
"Beliau terbunuh dalam sebuah sergapan musuh. Beliau adalah orang yang sangat rendah hati dan aku
bergaul dengan beliau selama 4 tahun. Demi Allah, wajahnya sangat bersinar terlihat seakan-akan dia
tersenyum dan tidak terbunuh. Aku dan temanku mencium bau wangi dari jasad Usamah, aneh! Bau apa
ini ?, aku mencium bau wanginya sangat kuat. Demi Allah, selama hidupku aku tak pernah mencium bau
sewangi ini. Saya masih menyimpan sejumlah uang kertas yang saya usapkan pada darahnya ketika itu.
Dari darahnya ini tercium semerbak bau misk dan tidak hilang hingga 40 hari sejak beliau meninggal."
Subhanallah. Senyum mujahidin dan wangi tubuh mereka adalah sebuah bukti dari Allah Ta'ala kepada
para mujahidin bahwa mereka di sisi Allah Ta'ala menempati derajat yang mulia dan karena hal itu
pulalah mereka tersenyum dan bergembira. Allah Ta'ala berfirman :
"Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya
mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan
Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum
menyusul mereka bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka
bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang beriman." (QS. Ali Imran : 168-171)

Sabtu, 05 Mei 2012

Demi ALLAH.. Perangilah mereka!!!

DEMI ALLAH..PERANGI MEREKA!
Bismillahirrahmaanirrahiim…..
Jihad, jihad, dan jihad! Itukah waktu yang selalu kau nantikan, wahai hamba Allah? Itukah
saat-saat yang selalu kau tunggu? Ketika kesyahidan ada di depan mata…tak inginkah kau
meraihnya?
Wahai orang-orang yang (mengaku) beriman!
Cukuplah sudah kau berdiam diri melihat semua ini! Kaum kuffar semakin merajalela. Kaum
yang dilaknat semakin tak tahu aturan. Tidakkah kau saksikan?
Wahai ikhwahfillah!
Hanya tinggal menghitung hari, tanggal 11 September 2010 besok, ummat yang memusuhi
Islam secara terang-terangan akan membakar kitab suci Al Qur’anul Kariim. Acara yang
dipelopori oleh kaum misionaris dan aktivis gereja Kristiani di Florida, USA…menyatakan
perang kepada kita! Alasannya, untuk membalas sakit hati mereka atas bom yang
menghancurkan gedung WTC 9 tahun silam. Mereka mengklaim bahwa ajaran-ajaran yang
ada dalam Al Qur’an adalah ajaran kekerasan dan penindasan agama lain, sehingga perlu
dimusnahkan. Mereka menuduh penyebab semua kerusakan di muka bumi adalah akibat
dari pengamalan ajaran Al Qur’an.
Innalillah!
Saya tujukan tulisan ini untuk kaum Muslimin..kepada semua orang yang mengaku beriman
kepada Allah dan hari akhir! Duhai kau…jiwa-jiwa yang merindukan berjumpa Allah! Relakah
kau kalamullah diinjak-injak, dibakar, dimusnahkan seperti itu? Tak sakitkah hatimu melihat
penghinaan besar dan olok-olokan ini? Ataukah justru kau ikut mengklaim bahwa ajaran
kitabmu ini yang menjadikan kerusakan di bumi? Demi Allah! Jika hatimu memang telah
mulai ada keraguan akan ajaran Allah, sedangkan kau lebih percaya musuh daripada Allah…
maka bertaubatlah! Bersyahadatlah..karena keislamanmu sudah mulai terlunturkan.
Na’udzubillah!
Wahai pemuda!
Tidakkah kau mencita-citakan surga sebagai tempat kembalimu kelak? Ataukah bayangan
surga mulai kabur dari pandangan…tertutup gemerlap dunia dan tahta? Benarkah kau mulai
mempertanyakan keberadaan surga, seolah kau tak yakin akan kebesaran Tuhanmu?
Na’udzubillah….
Mungkin…..
Tanggal 11 September 2010, beberapa Al Qur’an akan dibakar. Tapi Allah sudah
menjanjikan….. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kamilah
yang akan memeliharanya.” (QS Al Hijr: 9)
Mungkin…..
Tanggal 11 September 2010, beberapa kaum kuffar la’natullah akan tersenyum merasa
menang. Tapi demi Allah! Ketika itulah, justru kekuatan Muslimin akan bangkit, biidznillah.
Jiwa-jiwa perindu surga akan kembali terbangun. Dan jihad-jihad akan terkobar di dada para
mujahid. Karena kami yakin, akan kebenaran janji Allah….surga, bagi sesiapa yang membela
agama-NYA.
Mungkin….mungkin…..
Itu mungkin. Jika pembakaran Al Qur’an benar-benar terjadi. Atau mungkin, justru pasukan
kuffar akan lari terbirit-terbirit dikejar burung Ababil yang membawa batu Jahannam panas
membara, sebagaimana yang dialami Abraham dulu ketika hendak menghancurkan ka’bah.
Atau entah bentuk pertolongan yang bagaimana dari Allah, untuk menjaga kalam-NYA.
Tapi….
Saya tetap mengajak kaum Muslimin sedunia. Yang jiwa-jiwanya masih terikat erat dengan Al
Qur’an. Marilah kita tegakkan Islam, kita eratkan ukhuwah, kita tekadkan berjihad. Bilamana
tak bisa dengan senjata atau tangan, maka lakukan dengan hati. Doakanlah…dalam tulus
rintihanmu pada sepertiga malam…
“Rabb, kumohon, tunjukkanlah kuasa-MU. Binasakanlah kaum kuffar dengan tangan-MU.
Binasakan Ya Rabb….dan gantilah mereka dengan ummat-ummat yang mencintai-MU. Demi
keagungan-MU, sungguh kami sangat merindukan hidup dalam naungan firman-MU, atau
syahid dalam keridhaan-MU. Amien.”
Ya ikhwah…saudaraku se-Islam…..
Sesungguhnya Al Qur’an adalah warisan dari Rasulullah yang harus kita jaga sampai hari
kiamat kelak. Cintai ia, melebihi engkau mencintai benda apapun di bumi ini. Karena hanya
Al Qur’an, yang akan mampu memberi cahaya dalam kegelapan kuburmu. Bukan buku
bacaan yang lain! Dan buktikan kecintaanmu, dengan selalu belajar dan mengajarkannya…
agar senantiasa menjadikan dirimua semakin merindukan Allah dan surga-NYA.
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan
diridhoi-NYA. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-KU. Dan masuklah ke
dalam surga-KU. (QS Al Fajr: 27-30)
(yan)

Jumat, 04 Mei 2012

Pancasila dan Talmud

Pancasila dalam Talmud
Fenomena munculnya komunitas Yahudi secara terbuka di Indonesoa menarik
dicermati, setidaknya karena dua alasan. Pertama, selain belum memiliki
hubungan diplomatik dengan Indonesia, secara konstitusional Indonesia belum
mengakui eksistensi negara Israel yang masih menjajah negara Palestina.
Kedua, merebaknya isu Negara Islam Indonesia (NII) KW 9, yang diklaim
sebagai akibat ditinggalkannya ideologi Pancasila, yang ditengarai sejumlah pihak
telah mengalami kropos dan ditinggalkan rakyat.
Kenyataan ini mendorong munculnya wacana 4 pilar kebangsaan. Yaitu NKRI,
UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Lalu, apa relevansinya
mengaitkan kitab suci Yahudi, NII dan semangat kembali ke Pancasila? Tulisan
berikut ini akan mengurai, adakah benang merah Pancasila dan zionisme dalam
Talmud Yahudi.
Pancasila dalam Talmud
Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia asli, produk pemikiran
yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian, berhasil dirumuskan sebagai
ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung Karno, hingga menjadi rumusan seperti
yang kita kenal sekarang.
Sejauhmana klaim di atas memperoleh legitimasi historis serta validitas
akademik? Adakah bangsa lain dan gerakan ideologi lain yang telah memiliki
Pancasila sebelum Sukarno menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI, 1
Juni 1945?
Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengaku, dalam
merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari luar.
Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya:
“Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis
bernama A. Baars, yang memberi pelajaran pada saya, ‘jangan berpaham
kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”.
Tetapi pada tahun 1918, kata Bung Karno selanjutnya, alhamdulillah ada orang
lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San
Min Chu I atau The Three People’s Principles , saya mendapat pelajaran yang
membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah
rasa kebangsaan di hati saya oleh pengaruh buku tersebut.”
Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah
produk domistik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang
dikemas dalam format domistik.
Sebagai derivasi gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki
doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme
(ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah
air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi),
demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan
sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa
XI:45).
Tokoh-tokoh pergerakan di Asia Tenggara juga merujuk pada Khams Qanun
dalam merumuskan dasar dan ideologi negaranya. Misalnya, tokoh China Dr.
Sun Yat Sen, seperti disebut Bung Karno, dasar dan ideologi negaranya dikenal
dengan San Min Chu I , terdiri dari: Mintsu, Min Chuan, Min Sheng, nasionalisme,
demokrasi, dan sosialisme.
Asas Katipunan Filipina yang dirumuskan oleh Andreas Bonifacio, 1893, dengan
sedikit penyesuaian terdiri dari : nasionalisme, demokrasi, ketuhanan, sosialisme,
humanisme. Begitupun, Pridi Banoyong dari Thaeland, 1932, merumuskan dasar
dan ideologi negaranya dengan prinsip: nasionalisme, demokrasi, sosialisme,
dan religius.
Sedangkan Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pada mulanya
merumuskan ideologi dan dasar negara Indonesia yang disebut Panca Sila terdiri
dari: nasionalisme (kebangsaan), internasionalisme (kemanusiaan), demokrasi
(mufakat), sosialisme, dan ketuhanan.
Prinsip indoktrinasi zionisme, memang cukup fleksibel. Dan fleksibilitasnya
terletak pada kemampuannya beradaptasi dengan pola pikir pimpinan politik
disetiap negara.
Pertanyaannya, adakah kesamaan ideologi dari tokoh dan aktor politik di atas
bersifat kebetulan, atau memang berasal dari sumber yang sama, tapi
dimainkan oleh aktor-aktor politik yang berbeda?
Dalam kaedah mantiq, dikenal istilah tasalsul, yaitu rangkaian yang berkembang,
mustahil kebetulan. Artinya, sesuatu yang berpengaruh pada yang sesudahnya,
pastilah bukan kebetulan.
Rumusan Pancasila versi Bung Karno, memiliki kesamaan dengan doktrin
zionisme yang dijiwai Talmud. Sehingga, klaim Pancasila sebagai produk domistik
terbantahkan secara faktual.
Intervensi ideologi ini, berpengaruh besar terhadap perkembangan Indonesia
pasca kemerdekaan. Di zaman demokrasi terpimpin, pengamalan Pancasila
berwujud Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Sedang di zaman orde
baru, praktik Pancasila berbentuk asas tunggal. Kedua model amaliah Pancasila
itu, telah melahirkan ideologi politik traumatis.
Melestarikan Pancasila seperti diwariskan kedua rezim di atas, berarti
melestarikan doktrin Yahudi, yang bertentangan dengan konstitusi negara. Dan
tidak konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD 1945,
menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa.
Dalam kaitan ini, pemerintah bertanggungjawab merealisasikan dasar dan
ideologi negara, selaras dengan muqadimah UUD ’45. Seperti tertuang dalam
pasal 29 ayat 1, bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Prof. Hazairin, SH menafsirkan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
adalah: pertama, di negara RI tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan
agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan Syari’at Islam bagi umat Islam,
syari’at Nasrani bagi umat Nasrani, dstnya sepanjang pelaksanaannya
memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib
menjalankan syariat agamanya secara pribadi. (Demokrasi Pancasila, 1975).
Oleh karena itu, hasrat membicarakan kembali Pancasila sekarang haruslah
dalam semangat kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Tanpa intervensi ideologi
asing, dan tanpa mendiskreditkan pihak lain dengan alasan antipancasila, anti
NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan slogan lainnya. Setiap warganegara berhak ikut
merumuskan dasar dan ideologi negara yang benar, tanpa intimidasi dari pihak
manapun.
Jogjakarta, 15 Mei 2011
Oleh Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin