Kamis, 22 November 2012

MENELANJANGI KITAB IBLIS PANCASILA

MENELANJANGI KITAB IBLIS 
PANCASILA


Pancasila yang dikatakan sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bersumber pada filsafat-filsafat Barat maupun filsafat-filsafat Timur. M. Yamin berkata tentang ini: “Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno ini sesuai pula dengan pandangan tinjauan hidup Neo Hegelian”.
Serta perhatikan pidato Bung Karno dihadapan BPUPKI, antara lain mengatakan, inspirasi-inspirasi tentang Pancasila ia peroleh dari pemikir-pemikir Sosialis Cina.
Jadi kandungan Pancasila adalah sebagian besar diambil dari filsafat-filsafat Barat maupun filsafat-filsafat Timur (sosialis komunis) serta dimasukkan beberapa ajaran Islam, kemudian jadilah ia sebagai collective ideologi (ideologi bersama) bagi bangsa Indonesia.
Itulah sebabnya, seorang Muslim perlu menganalisa secara mendalam kandungan Pancasila, apakah bertentangan atau tidak dengan Islam, agar aqidah ummat Islam tidak tercampur baur yang mengakibatkannya musyrik kepada Allah Azza wa Jalla.
Sebagaimana kita ketahui Pancasila terdiri dari lima sila yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
 2. Kemanusian yang adil dan beradab.
 3. Persatuan Indonesia.
 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan    perwakilan.
 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah analisa kandungan pancasila yang harus di ketahui oleh setiap orang islam:



Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa


Konsep ketuhanan dalam Pancasila tidak jelas maknanya, karena ditafsirkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ragam agama dan kepercayaannya itu. Penafsiran Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Islam sangat berbeda dengan penafsiran menurut Kristen ataupun lainnya. Dalam Pancasila terdapat banyak Tuhan, yaitu Tuhannya orang-orang Islam, Tuhannya orang Kristen, Tuhannya orang Hindu, Tuhannya orang Budha dan lainnya, jadi Tuhan-Tuhan manusia Indonesia berkumpul dalam Pancasila sebagai wadah tunggal, sebagai collective ideologi (aqidah bersama).
Bagaimana konsep Ketuhanan dalam Islam samakah dengan Pancasila?
 Allah berfirman:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi25 Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (Al Baqarah: 255)
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”. (Al Ikhlas : 1)
Sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 255, missi Islam adalah untuk menegakkan kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH, tidak ada Illah kecuali hanya Allah saja. Jadi konsepsi dalam Islam hanya ada satu Illah saja, yaitu Allah Azza wa Jalla. Selainnya tidak!!! Tidak ada tuhan Yesus, tidak ada Sang Yhang Whidi, tidak ada Tao, tidak ada tuhan-tuhan lainnya. Yang ada hanya Allah Azza wa Jalla.
Bagaimana konsep Pancasila dengan Islam tentang Tuhan ini, sama atau tidak?
Pancasila mengakui adanya tuhan-tuhan selain Allah, sedangkan Islam melarangnya (Musyrik/Kafir). 

Allah berfirman:
“Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. (Al Maidah: 73)
Jadi disini jelaslah bertentangan konsep Islam dengan Pancasila. Akibat adanya kesatuan Tuhan dalam Pancasila dianggapnya semua agama adalah baik dan benar, inilah kemusyrikan yang nyata, jelas-jelas melanggar konsep Allah dan Rasul-Nya.  

Allah berfirman:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab26 kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (Ali Imran: 19)


Jadi jelaslah sila pertama dari Pancasila ini sangat bertentangan dengan Islam, karena dapat membuat seorang Muslim menjadi musyrik kepada Allah.

Sila ke 2: Kemanusian yang adil dan beradab

Dalam kontek Pancasila, sesuatu perbuatan dianggap adil dan beradab apabila sesuai dengan sifat manusiawi (kemanusian).
“Jadi kemanusian yang adil dan beradab adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap diri pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan hewan”.
Jelaslah menurut Pancasila, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kodrat manusiawi (nafsu) tidak dapat diterima dan dibenarkan sama sekali, padahal manusia yang tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat maka cenderung mengikuti hawa nafsu yang sesat. Dalam Pancasila banyak hal-hal yang mengikuti hawa nafsu manusia bukan yang diturunkan Allah, 

misalnya:
- Hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina adalah tidak manusiawi, jadi hal ini tidak dapat diterima oleh Pancasila, sedangkan hal ini adalah wahyu Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim, jika ia tidak melaksanakannya maka ia telah KAFIR (Al Maidah: 44).
Dalam kontek Pancasila penzina adalah orang yang mempunyai suami dan istri lalu melakukan hubungan dengan orang lain, dikatakan berzina apabila mendapat tuntutan dari salah satunya, sedangkan muda mudi yang berhubungan tidak dianggap berzina, asalkan suka sama suka, tidak dihukum sama sekali. Sedangkan menurut Islam mereka adalah penzina semua yang harus dihukum. Bertolak belakang betul konsep adil dan beradab menurut Islam dan Pancasila.
- Presiden sebagai kepala negara dan pemegang kekuasaan tertinggi negara dapat membebaskan seseorang dari tuntutan hukuman (hak Grasi, Rehabilitasi dsbnya), ini adalah adil menurut harkat kemanusiaan.
 sedangkan menurut Islam siapapun tidak berhak membebaskan seseorang dari hukuman yang telah ditentukan, walau Nabi sekalipun, sebab ini adalah hak tunggal yang hanya dimiliki oleh Allah saja

- Ekonomi Pancasila ala kapitalis, hak perorangan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, tanpa mempunyai kewajiban sedikitpun untuk mengeluarkan hartanya, yang dalam Islam dikenal dengan Zakat, inikah kemanusian yang adil?
- Dan seterusnya.


Sila kedua ini sudah jelas sangat bertentangan dengan konsep Islam, karena sifat manusia tidaklah terlepas dengan nafsu yang selalu condong kearah maksiat, itulah sebabnya Islam tidak mengizinkan seseorang untuk mengikuti harkat kemanusiaan yang berdasarkan pada hawa nafsu belaka, seorang manusia harus tunduk dibawah kehenda wahyu yang diturunkan Allah

Allah berfirman:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Itulah konsep Islam, otak/fikir, hawa nafsu harus tunduk dibawah ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Sila ke 3: Persatuan Indonesia


Pancasila menyebutkan, seorang warga negara Indonesia harus bersatu padu dalam segala hal, mengutamakan kepentingan negara dan bangsa dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan (termasuk kepentingan agama sekalipun).
Bolehkah ummat Islam bersatu padu dengan orang-orang kafir dalam segala hal?

Allah berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Fath :29)
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali (mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (At Taubah: 23)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al Mujadilah: 22)
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.“ (At Taubah: 73)

Jihad, Mazhab Hanafi mengartikannya:
Lughoh: Menggunakan sesuatu secara maksimal baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Syari’ah: Membunuh orang-orang kafir, memancung kepala mereka, mengambil harta mereka dan meruntuhkan rumah-rumah berhala (ibadah) mereka guna menegakkan Islam.
Buka Al Qur’an lagi: Al Maidah: 54, An Nisa: 144, Ali Imran: 28, Al Maidah: 51 dan 57.
Dengan tegas dan jelas Allah Azza wa Jalla melarang kaum Muslimin untuk bersatu dengan orang-orang kafir, apabila dalam menjalankan ibadah kepada Allah, Islam tidak mengenal toleransi beragama (beribadah bersama-sama), ummat Islam hanya diperintahkan bersatu, hanya berdasarkan taqwa kepada Allah, yaitu dengan sesama Muslim bukan sama orang kafir yang membenci Islam.
Pancasila dapat menimbulkan sifat nasionalisme, dan demikianlah tujuan Pancasila
“Dengan Persatuan Indonesia harus pula dikembangkan semangat cinta tanah air dan bangsa (nasionalisme) serta semangat pengabdian dan pengorbanan kepada tanah air dan bangsa (Patriotisme), yang hakekatnya bersumber pada kesadaran senasib dan seperjuangan dalam menghadapi tantangan hidup”.
Dengan tegas dan jelas dikatakan Pancasila bertujuan untuk menciptakan sikap nasionalisme ini dapat menimbulkan kebanggaan raas, merasa lebih tinggi dan baik dari bangsa lain, serta memandang rendah mereka, Islam memandang mulia dan tidaknya seseorang bukan tergantung dari ras, melainkan taqwanya kepada Allah semata.
Islam diturunkan untuk menghapuskan nasionalisme dan mempersatukan ummat manusia seluruh dunia dibawah naungan Al Qur’an dan Sunnah. 

Allah berfirman:
 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al Baqarah: 30)

Khilafah adalah sistem pemerintahan dalam Islam, manusia sebagai wakil Allah untuk menjalankan semua yang diturunkan-Nya, semua peraturan-peraturan dan perundang-undangan tidak boleh keluar/menyimpang dari wahyu Allah, daerah kekuasaannya meliputi seluruh Alam ini.
Sayyid Quthub mengatakan: 
Masyarakat Islam ialah suatu masyarakat yang Universal, yakni tidak Rasial, tidak nasional dan tidak pula terbatas didalam lingkungan batas-batas geografis. Dia terbuka untuk seluruh anak manusia tanpa memandang jenis, warna kulit atau bahasa, bahkan juga tidak memandang agama dan keyakinan atau Aqidah31.
 Menyerukan sikap Nasionalime adalah hal yang dilarang dalam Islam, Rasulullah bersabda:
Bukan tergolong ummatku yang menyerukan Ashobiyyah, bukan tergolong ummatku yang berperang atas dasar Ashobiyyah, bukan tergolong ummatku yang mati atas dasar ashobiyyah. (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya Sayyid Quthub berkata: 
"Sebagai tindak lanjut dari penghapusan dinding-dinding raas, bahasa dan warna kulit, maka Islam meniadakan pula batas geografi antara berbagai bangsa, yang menciptakan perasaan Nasional sempit dan yang menjadi sumber bagi persaingan sengit antara nation-nation yang berbeda –beda. Persaingan inilah yang melahirkan sistem penjajahan yang intipatinya ialah eksploitasi bangsa atas bangsa, jenis atas jenis dan tanah air atas tanah air"
Persatuan Indonesia ini juga akan melahirkn sikap patriotisme, mengabdi dan rela mengorbankan diri demi untuk kepentingan negara dan bangsa. Inilah perbuatan musyrik yang dianjurkan Pancasila. 
Seorang Muslim diperintahkan beribadah (mengabdi) dan berkorban semata-mata karena Allah saja. 

Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al An’am: 162) “Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Al An’am: 163)
Sa’id Hawa mengatakan, salah satu yang mengakibatkan batalnya syahadat adalah terlalu cinta pada tanah air, berjuang karenanya semata.

Sila ke 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan


Pancasila menyebutkan, seluruh rakyat Indonesia harus tunduk dan patuh kepada semua peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh dewan perwakilan yang berdasarkan pada rasio sehat. 

Jadi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan berarti, bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya memakai sistem perwakilan sedang putusan-putusan harus berdasarkan kepentingan rakyat, yang diambil melalui musyawarah yang dipimpin oleh rasio yang sehat serta dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab.


Dalam sistem Pancasila, pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat yang diatur/diwakilkan melalui perwakilan (MPR/DPR). Hal ini sangat bertentangan dengan sistem dalam Islam, ketaatan harus hanya kepada Allah semata dan wajib mengikuti undang-undang-Nya serta haram meninggalkan peraturan ini dan mengikuti undang-undang buatan manusia-manusia lainnya. 

Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59)
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al Maidah: 55)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya35. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Al A’raf: 3)
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jaatsiyah: 18 )
Pemimpin tertinggi ummat Islam adalah Allah, Rasul-Nya kemudian orang-orang yang beriman yang tunduk dan patuh kepada wahyu yang diturunkan Allah, bukan orang yang mengikuti rasio sehat yang tak terlepas dengan kemauan nafsu. Seorang Muslim harus tunduk dan patuh hanya kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, diperkenankan taat kepada manusia asalkan ia beriman dan tidak mengajak kepada maksiat terhadap Allah.
Konsep demokrasi dalam Pancasila bersumber dari kebiasaan nenek moyang bangsa Indonesia yang animisme, Hindu maupun Budha. “Demokrasi Pancasila demokrasi yang telah dipraktekkan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala (oleh nenek moyang) dan masih dijumpai sampai sekarang”.
Demokrasi Pancasila berdasarkan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh dewan perwakilan. Sistem demokrasi Pancasila ini terlihat dalam MPR maupun DPR yang terdiri dari beberapa golongan agama dan kepercayaan, ada wakil Islam, Kristen, Hindu, Budha, Komunis, Kejawen dan lain sebagainya, menjadi satu dalam MPR/DPR yang membuat peraturan-peraturan maupun hukum. Sedangkan Islam menghendaki Syuro (Ali Imran: 159)

yang terdiri hanya dari wakil Islam, Islam yang taat saja, bukan dari berbagai golongan.
Rasulullah berkata: Kumpulkanlah para ahli ibadat yang bijaksana diantara ummatku dan musyawaratkanlah urusanmu itu diantara kamu, dan janganlah membuat keputusan dengan satu pendapat saja37. Demikianlah dalam Islam, semua keputusan yang diambil tidak boleh sama sekali bertentangan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah.
Demokrasi Pancasila, MPR/DPR, banyak menelurkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Islam, seperti UU tentang perkawinan dan lainnya. Seorang Muslim tidak diizinkan sama sekali menjadi anggota parlemen yang selalu memojokan Islam. 

Allah berfirman:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (An Nisa: 140)
Demikianlah ketentuan Islam, ini adalah sistem politik dalam Islam, politik non cooperatif. Apalagi kalau kita melihat MPR/DPR sekarang di Indonesia ini, wakil-wakil Islam hanya mencari kursi saja, tidak membawa ideologi Islam sejati, padahal ketika berkampaye selalu menggunakan ayat-ayat Al Qur’an, namun setelah menarik simpati ummat Islam, dan dipilih, mereka lupa sama sekali dengan ayat Allah yang dibacakannya. 

MPR/DPR sekarang tidak lebih sebagai parlemen/Majelis untuk memojokan ummat Islam, kaki tangan penguasa. Padahal jika ummat Islam menelaah perjuangan Rasulullah Saw., Beliau (Rasulullah Saw.) tidak pernah mau duduk bersama Abu Jahal (di darut nadwah), sekalipun Abu Jahal menawarkan kepada Rasulullah Saw. untuk bergantian memerintah Makkah.

Jadi jelaslah sudah, Musyawarah menurut Pancasila dan Islam adalah bertentangan, Islam bersumber pada wahyu Allah Yang Maha Sempurna, sedangkan Pancasila bersumber dari filsafat, hasil pemikiran otak manusia yang lemah, apalagi digali dari sumber-sumber kafir Barat dan ditambah lagi dengan sumber-sumber Indonesia tempo doeloe, animisme.

Sila ke 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sila kelima dari Pancasila ini pada hakekatnya adalah manifestasi daripada rasa nasionalisme, yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. (lihat pembahasan sila ke III). 

Konsep keadilan sosial dalam Islam sangat berbeda dengan konsep dalam Pancasila. Konsep keadilan sosial dalam Islam sepenuhnya bersumber dari rasa Taqwa kepada Allah semata, semua bentuk keadilan sosial tidak boleh menyimpang dari konsep Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tujuan keadilan dalam Islam untuk menciptakan kebahagian bagi seluruh ummat manusia didunia ini, tidak terbatas pada teritorial suatu daerah ataupun bangsa saja.

Sedangkan konsep keadilan sosial dalam Pancasila bersumber dari sifat-sifat manusiawi, segala sesuatu dipandang baik dan buruk diukur dengan karsa dan rasa manusia, bukan pada wahyu yang diturunkan Allah. Seperti perzinaan (pelacuran) hal ini diizinkan oleh manusia Pancasila (terbukti dengan dilokallisasikannya komplek-komplek WTS oleh Pemerintah), demi untuk tersalurnya kebutuhan nafsu manusia, hal ini dipandang sebagai kebutuhan pokok manusia.

Sedangkan hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi penzina, poligami dan lainnya ditinggalkan dengan naluri kemanusiaan (biadab).
Keadilan sosial dalam Pancasila terbatas untuk rakyat yang berdomisili di Indonesia, diprioritaskan terutama untuk bangsa Indonesia, walaupun orang itu kafir. Sedangkan Islam selalu memberikan perioritas pertama pada pemeluknya walau dimanapun tempatnya, Islam tidak terbatas pada teritorial.

Jelaslah pertentangan sila kelima ini dengan Islam, perbedaannya dari tujuan maupun awalnya, Islam menghendaki terciptanya keadilan sosial bagi seluruh dunia, sedangkan Pancasila terbatas pada wilayah Indonesia.
Setelah kita menganalisa isi (kandungan) dari Pancasila secara menyeluruh, kesimpulan terakhir yang kita peroleh adalah; Semua kandungan Pancasila adalah bertentangan dengan Islam. Demikian pula secara fundamental sistem Pancasila berdasarkan sistem jahil, maka secara otomatis semua produknya adalah jahili.

 Ummat Islam selama ini ditipu oleh Ulama-Ulama (syu’) Pancasilais, dengan menempelkan ayat-ayat Allah pada butir-butir Pancasila, padahal semua itu adalah taktik untuk menenangkan ummat Islam, agar dikatakan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, mereka inilah yang disitir oleh Allah sebagai anjing, karena dia tahu ayat namun dijualnya dengan murah. 

Allah berfirman:
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Al Araf: 176)
Ummat Islam harus waspada dan hati-hati dengan perbuatan semacam ini, walau bagaimanapun yang haq itu tak akan tercampur dengan yang bathil, yang haq pasti haq karena bersumber dari yang haq pula, dan sebaliknya. Seandainya yang bathil ada persamaan dengan yang haq, maka hal itu adalah bathil, walau kelihatannya haq. Demikian juga dengan Pancasila, walaupun disusupi ayat-ayat Al -Qur’an, pasti dia akan tetap bathil, karena dasarnya adalah sudah bathil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar