HUKUM MENGAMBIL HARTA ORANG KAFIR DI DARUL HARBY
oleh : Syeikh Anwar Al-Awlaki
12 safar 1432 H / 17 januari 2011
Diterjemahkan Oleh : Abdullah Al Muhajir
Alhamdulillah wa sholatu wa salam ala Rasulillah,
Islam mensyaratkan beberapa syarat yang jelas dalam hal pengambilan
harta orang kafir. Merujuk kepada ulama-ulama salaf kita, adalah sebuah
hal yang diperbolehkan untuk mengambil harta orang kafir untuk tujuan
yang berkaitan dengan jihad, sekalipun si pelakunya itu tidak memiliki
kekuatan berupa pasukan bersenjata, tidak memiliki imam bahkan bila di
dalamnya terdapat halangan-halangan. Karena tidak familiarnya pembahasan
ini saya merasa perlu untuk menjelaskannya.
Rasululloh saw
bersabda: “aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, dijadikan
rizkiku di bawah naungan tombak ku. Dan kehinaan terhadap siapa saja
yang menyelisihi urusanku.”
Hadits yang mulia ini, menunjukan beberapa aspek penting tentang agama kita.
Yang pertama:
1. Nabi Muhammad saw itu diutus dengan pedang: Rasulullloh saw dan para
mujahidin setelah beliau membawa cahaya Islam ini kepada seluruh
manusia dengan berjihad fisabilillah.
2. Sumber rizki yang
paling besar adalah berasal dari rampasan perang dan pekerjaan yang
paling utama adalah sebagai tentara di jalan Alloh.
Pemasukan yang
dihasilkan dari harta rampasan yang diambil dari orang kafir menggunakan
kekuatan adalah harta yang paling thayyib dari pada harta penghasilan
dari perdagangan, kerja sebagai insinyur, dokter atau petani,dll. Itulah
sebabnya Alloh menetaokannya sebagai sumber penghasilan bagi Rasul-Nya
Muhammad saw. dan menjadi seorang mujahid adalah sunnahnya.
3. Akibat akhirnya, seluruh musuh Nabi Muhammad saw dan ummatnya akan dihinakan dan dipermalukan.
Diriwayatkan bahwa para sahabat yang pindah ke negeri syam mereka mulai
bercocok tanam karena syam adalah negeri yang tanahnya subur dengan air
yang melimpah, tidak seperti tanah di negeri asal mereka di kawasan
hijaz. Ketika Khalifah Umar R.A mendengar hal tersebut beliau menunggu
sampai tibanya masa panen. Tepat sebelum para sahabat menuai panen
ladang mereka, Khalifah Umar ra langsung memerintahkan semuanya.
Khalifah umar lalu mengumpulkan para sahabat, mengatakan kepada mereka
bahwa bertani itu pekerjaan ahlu kitab, adapun kalian harusnya berperang
di jalan Alloh. Umar ra tidak mau para sahabat terikat dengan urusan
yang bisa menahan mereka dari berjihad fisabilillah. Menginginkan mereka
terbebas dari belunggu yang bisa memperbudak mereka, sebagaimana yang
terjadi pada kebanyakan manusia.
Pernyataan Umar ra ini,
mengimplikasikan bahwa orang-orang yang terikat dengan dunia, para ahlu
kitablah yang semestinya melakukan pekerjaan rendahan itu. Adapun kalian
orang-orang muslim, seharusnya kalian ini mencari bekal penghidupan
dengan kekuatan pedang kalian. Rasululloh saw pernah bekerja sebagai
gembala ternak, pernah juga berdagang, tapi itu sebelum islam, sebelum
beliau saw diutus sebagai Rasul. Setelah beliau saw menerima wahyu,
beliau saw meninggalkan semua itu dengan mencurahkan seluruh waktunya
untuk menyebarkan islam. Sangat bertentangan dengan yang orang-orang
banyak pahami hari ini.
Rasululloh saw itu tidak bekerja
setelah menjadi Nabi. Setelah beliau hijrah ke madinah, nafkah hidup
beliau berasal dari harta rampasan. Hari ini mungkin beberapa orang
muslim merasa tidak nyaman dengan mempergunakan harta yang diambil
secara paksa dari orang kafir, tapi mereka merasa lebih nyaman kalau itu
hasil gajian atau keuntungan dagang. Hal ini tidak benar. Pendapatan
yang paling bersih, paling baik itu adalah harta rampasan dari orang
yang tidak beriman.
Rasululloh saw bersabda: “dan dijadikan halal bagiku harta rampasan perang..”
Ghanimah dan Fa’i
ini adalah dua jenis harta yang diambil dari orang kafir. Berikut adalah definisinya:
a. Ghanimah adalah harta yang diambil dari orang kafir secara paksa
dengan kekuatan mujahidin dalam rangka li i’la’i kalimatillah.
b. Fa’i adalah harta yang diambil dari orang kafir tanpa peperangan.
Aturan-Aturan Soal Ghanimah dan Fa’i.
Setelah harta ghanimah terkumpul, darinya (20%) diambil, inilah yang
disebut dengan *takhmis. Sisanya yang 80% * dibagikan kepada seluruh
pejuang. Tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang pembagian yang
seperlima (20%) tadi. Ada yang berpendapat dipergunakan seluruhnya untuk
urusan jihad. Yang lain berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
kaum muslimin. Yang lain mengatakan untuk tunjangan para ulama dan para
hakim di negara islam.
Adapun harta fai, maka ini milik kas
kaum muslimin di baytul maal. Maka perbedaan antara ghanimah dan fai
terletak pada bagian atau 80% dari harta ghanimah untuk para mujahidin,
sedangkan harta fai, tidak ada satu bagian pun bagi mereka semuanya
masuk ke baytul maal. Untuk dipergunakan kemaslahatan kaum muslimin
sesuai kebijakan imam.
pertanyaan: bisakah harta ghanimah dan fai diambil dari negera-negara barat hari ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita harus menjawab 2 pertanyaan dulu:
1. Apakah negera-negara barat yang dimaksud itu diklasifikasikan sebagai darul harbi ataukah darul ahdi?
2. Jika negera-negara barat ini merupakan darul harbi, apakah
orang-orang muslim yang hidup di sana terikat perjanjian yang melarang
mereka untuk membahayakan negara yang mereka tinggali?
Jawaban
untuk pertanyaan yang pertama: yang paling pokok adalah hari ini tidak
ada pemimpin islam yang berkuasa, yang sah untuk mengadakan suatu
perjanjian dengan negara-negara kafir. Sebab, pemerintahan-pemerintahan
yang berkuasa di negeri muslim hari ini sejatinya telah kehilangan
legitimasinya untuk banyak alasan, diantaranya:
1. Mereka menjalankan hukum buatan manusia , tidak berhukum kepada hukum yang Alloh turunkan.
2. Berwala kepada orang kafir.
3. Memerangi wali-wali Alloh.
Maka dari itu perjanjian apa pun yang mereka adakan dengan pihak manapun dinilai batil alias tidak memiliki legitimasi.
Yang kedua, negara manapun yang terlibat peperangan dengan kaum
muslimin, berpartisipasi dalam menginvansi negeri-negeri muslim, maka
secara de facto negera tersebut berstatus sebagai darul harbi. Karena
itulah seluruh negera barat yang aktif terlibat dalam penjajahan di
Afghanistan, di Iraq atau di negeri muslim manapun dinilai sebagai darul
harbi.
Jawaban untuk pertanyaan yang kedua: ini adalah
persoalan yang kritis, maka akan dibahas di tulisan tersendiri *insyaa
Alloh *. bagaimanapun kesimpulan dalam persoalan ini adalah orang-orang
muslim itu tidak terikat dalam perjanjian kewarganegaraan dan visa yang
ada antara mereka dan negara-negara darul harbi tersebut. Merupakan ijma
ulama bahwa harta milik orang kafir darul harbi adalah halal bagi orang
muslim dan merupakan target yang sah bagi para mujahidin. Karena ini
adalah ijma, maka tidak perlu lagi pembahasan lebih jauh di point ini.
Di ensiklopedia fiqih disebutkan, harta ahlu harbi dan darah mereka
adalah halal bagi orang muslim, tidak ada yang terlindungi. Orang-orang
muslim boleh mengambil nyawa dan harta milik mereka dengan seluruh usaha
yang mungkin bisa dilakukan. Karena mereka, orang-orang kafir,
melakukan hal yang sama terhadap kita. Ini merupakan kesepakatan para
ulama. Di masa lalu, tentara-tentara muslim masuk ke negeri-negeri
kafir, baru kemudian mengambil alih harta kekayaan mereka dan
membagikannya sesuai dengan aturan syariat: kalau harta tersebut diambil
setelah perang, disebut ghanimah. Bila tanpa perang maka dikategorikan
sebagai fai. Sekarang, jihad berlangsung dengan gaya baru, berdasarkan
prinsip perang gerilya yang tentu berbeda dengan gaya perang
konvensional seperti yang terekam dalam sejarah. Bagaimana hal ini bisa
mempengaruhi pengaturan ghanimah dan fai?
Jihad hari ini lebih
bersifat clandestine, dilakukan oleh jaringan bawah tanah. Pertanyaan
yang muncul adalah bisakah jaringan-jaringan mujahidin ini menggunakan
metode-metode clandestine untuk mendapatkan harta dari orang kafir di
darul harbi? Jika jawabannya “iya, bisa.” Apakah ini termasuk fai atau
ghanimah? Atau bukan keduanya? Pertanyaan selanjutnya , bagaimana
pembagiannya?
Kalau mau saja membuka kitab-kitab fiqih klasik
akan ditemukan ternyata mazhab yang empat telah membahasnya. Dan mazhab
hanafi yang paling banyak membahas topik-topik tersebut. Hal ini mungkin
karena mazhab hanafi menjadi mazhab resmi kerajaan-kerajaan islam pada
waktu yang lama dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain. Sebab
mazhab hanafi membahas persoalan ini lebih detail karena kebijakan luar
negeri dari sebuah negara islam adalah jihad fi sabilillah. Maka saya
akan mengutip pertama kali pendapat-pendapat dari kitab-kitab fiqih
mazhab hanafi.
Mazhab Hanafi
Al-Natiqi meriwayatkan
bahwa imam abu hanifah berkata: “jika seseorang secara sendirian masuk
ke darul harbi dan mengambil harta rampasan, sedangkan di wilayah itu
tidak ada tentara muslim maka harta itu tidak wajib dipotong seperlima.
Itu jika mereka kurang dari 9 orang, jika jumlahnya mencapai 9 orang
atau lebih mereka dinilai sebagai sariyah (grup tempur).”
Maka
merujuk kepada imam abu hanifah, kalau grup ini kurang dari 9 orang, apa
yang mereka rampas tidak disebut sebagai ghanimah, maka tidak wajib
dipotong seperlima yang diberikan kepada penguasa muslim. Dalam kitab
al-hidayah, imam al-mirghanani mengatakan: “kalau ada satu atau dua
orang memasuki darul harbi tanpa ijin imam dan mereka mengambil sesuatu,
maka tidak perlu dipotong seperlima.” Di sini beliau menyatakan, bahwa
apapun yang diambil dari darul harbi oleh individu-individu biasa bukan
pasukan tentara, maka tidak masuk ke dalam pengaturan ghanimah.
Al-zayghali dalam kitab syarahnya terhadap kitab al-hidayah, judulnya
“nasb al-rayah fi takhrij ahadits al-hidayah” menjelaskan dasar
pernyataan imam al-mirghanani di atas dengan mengatakan: “ hal ini
karena ghanimah itu diambil secara paksa dengan kekuatan bukan secara
pencurian dan penipuan, sedangkan aturan pemotongan seperlima (20%) itu
hanya berlaku untuk ghanimah. Adapun bila individu atau beberapa
individu non-militer ini masuk ke darul harbi dengan ijin imam, maka ada
dua pendapat; yang paling masyhur adalah aturan pemotongan seperlima
berlaku atas apa yang mereka ambil, karena ijin imam itu berarti imam
wajib melindungi mereka jika meraka dalam bahaya. Artinya mereka
memiliki kekuatan yang menyokong. (penulis hidayah mengatakan) “kalau
sekelompok orang yang memliki kekuatan masuk ke darul harbi lalu
mengambil sesuatu, berlaku lah aturan *takhmis *(pemotongan 20% dari
harta rampasan) walaupun mereka tidak minta ijin dari imam.”
Karena hal tersebut dinilai sebagai ghanimah, sebab diambil dengan
kekuatan, dan imam tetap wajib melindungi, karena jika tidak itu akan
melemahkan kaum muslimin, tidak seperti kalau satu atau dua orang saja
yang masuk, maka imam tidak wajib melindungi mereka.”
Al-zayghali menilai apa-apa yang diambill dinilai sebagai ghanimah bila
individu atau kelompok yang bersangkutan memiliki kekuatan penyokong.
Hal ini berbeda dengan keadaan mujahidin hari ini, di mana tidak ada
imam atau penguasa muslim yang memberikan perlindungan kepada mereka.
Pernyataan yang sama juga terdapat juga di kitab fiqih mazhab yang
lain, seperti al-mabsut dan syarah al-sair al-kabir keduanyakarya imam
al-sarkhasi.
Demikian mazhab hanafi memandang hukum *takhmis *
yang diambil dari harta rampasan dan diserahkan kepada amir sebagai
imbalan atas perlindungan yang diberikan. Jika perlindungan ini tidak
ada maka mereka tidak perlu membayar apa pun.
Maka jika ada
individu atau sekelompok orang yang mengambil harta orang kafir di darul
harbi tidak dengan kekuatan, tapi secara diam-diam maka hal itu tidak
dinilai sebagai ghanimah, menurut mazhab hanafi.
lalu termasuk apakah itu?
Kita menemukan jawabanya di kitab fiqih mazhab hanafi yang lain,
“al-jawharah al-nayiroh” karya abu bakar al-abbadi, yang menyatakan
dalam syarahnya atas kitab al-hidayah: “kalau ada satu atau dua orang
yang memasuki darul harbi tanpa ijin imam, lalu mengambil sesuatu, maka
aturan pemotongan seperlima tidak berlaku atasnya. Karena ini bukan
ghanimah, sebab ghanimah itu yang diambil dengan kekuatan bukan secara
pencurian.
Tetapi kalau satu atau dua orang tadi masuk dengan ijin
imam, maka ada dua pendapat, yang paling masyhur adlah hasilnya dibagi
lima bagian, empat bagian untuk mereka (pelaku, sisanya diserahkan
kepada amir ke baytul maal).
Pendapat kedua menyebutkan, tidak perlu dibagi lima bagian, karena harta itu diambil dengan mencuri.
Yang paling kuat adalah pendapat yang pertama, karena imam memberi ijin
mereka, yang berarti mereka melakukannya di bawah perlindungan imam
buka secara pencurian semata.”
Selanjutnya beliau mengatakan:
“kalau sekelompok orang yang memiliki kekuatan pasukan penyokong masuk
(ke darul harbi) lalu mengambil sesuatu, maka aturan *takhmis
*(pemotongan sepelima/ 20%) berlaku, walau mereka tidak minta ijin imam,
karena kelompok tadi memiliki kekuatan,sebab apa yang mereka ambil
dinilai sebagai ghanimah.
Tetapi bila kelompok tadi tidak
memiliki kekuatan berupa pasukan penyokong dan mereka juga masuk ke
darul harbi tanpa ijin imam, maka apa yang mereka ambil dinilai bukan
ghanimah, karena ghanimah adalah apa-apa yang diambil secara paksa
dengan kekuatan. Ada pun orang-orang ini sama seperti pencuri pada
umumnya, yang mengambil secara diam-diam, maka bukan lah ghanimah.
Karena itu lah dalam kasus semacam ini, apa yang dia ambil, itu menjadi
miliknya, tidak harus dia bagi, sebab ini dinilai mubah, sama seperti
berburu atau mengumpulkan kayu bakar.”
Perhatikan, di sini imam
al-abbadi menyamakan harta rampasan dengan harta hasil berburu dan
hasil pengumpulan kayu bakar, karena hewan liar dan kayu di hutan itu
bukan hak milik orang tertentu. Alasan dari menyamakan harta rampasan
dengan berburu dan pengumpulan kayu bakar adalah karena harta benda yang
ada di tangan orang-orang kafir itu tidak sah kepemilikannya menurut
syariat islam disebabkan kekufuran mereka.Ada pun terjaganya harta orang
kafir dari ahlu dzimmah adalah pengecualian karena jizyah yang mereka
bayarkan.
Inilah kenapa para ulama kita mengatakan bahwa Alloh
menyebut “harta rampasan” dengan “fai” yang artinya “yang kembali”, maka
mereka mengatakan harta benda orang kafir yang sejatinya bukan milik
mereka telah “kembali” kepada orang beriman sebagai pemiliknya yang sah.
Dalam kitan al-sair al-shaghir (hanafi) penulis menyatakan: “kalau
satu, dua atau tiga orang dari kaum muslimin atau ahlu dzimmah, yang
tidak memiliki kekuatan penyokong, memasuki darul harbi tanpa ijin imam
lalu mengambil harta ahlu harbi sebagai rampasan kemudian membawanya ke
darul islam, maka seluruh yang mereka ambil adalah milik mereka, tidak
ada pemotongan seperlima darinya.”
Situasi kaum muslimin yang
hari ini tinggal di darul harbi sama dengan kasus yang disebutkan di
atas. Kaum muslimin hari ini tidak ada imam yang bisa mereka mintai
ijin, tidak pula kekuatan berupa pasukan yang bisa melindungi mereka.
Dan apa yang mereka bisa ambil paling dengan cara pencurian atau
pengelapan. Maka menurut pendapat yang dipegangi oleh mazhab hanafi,
harta yang bisa dikuasi oleh orang muslim di darul harbi sepantasnya
menjadi milik mereka seluruhnya.
Tapi bagaimana pun juga, saya
ingin menggaris bawahi, walaupun hari ini seorang muslim diperbolehkan
melakukan hal itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: mazhab
hanafi berpendapat seorang muslim “di-ijin-kan” untuk mengambil harta
orang kafir di darul harbi, tapi mereka tidak menyatakan perbuatan itu
mendapatkan pahala. Mereka menyamakannya dengan berburu dan mengumpulkan
kayu bakar. Dengan kata lain ini sama saja dengan usaha mata
pencaharian mengunakan cara halal yang lainnya.
Walau begitu,
sebagai seorang muslim, seharusnya kita mencari harta yang diambil dari
orang kafir sebagai bagian jihad fi sabilillah, mempergunakannya di
jalan jihad, bukan untuk kesenangan syahwat pribadi.
Kita tidak
ingin fatwa ini disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
perhatian apa pun terhadap jihad, yang Cuma tertarik untuk menumpuk
kekayaan pribadi.
Efek dari penyalahgunaan fatwa ini bisa
berakibat pada dicurigainya orang-orang muslim dan pemerintah-pemerintah
negara-negara target membatasi geraknya, sehingga pada akhirnya
menyusahkan mereka yang benar-benar bergerak atas dasar fatwa tersebut.
Pendapat tiga mazhab yang lainnya.
Ibnu Hamam dalam kitabnya fathul qadir berkata: “mazhab syafi’i,
maliki, dan mayoritas ulama berpendapat apa yang diambil secara
individual dengan cara pencurian ini dinilai sebagai ghanimah.”
Beliau kemudian berkata: “tetapi kami dan Imam Ahmad –merujuk ke satu
atau dua riwayat yang disandarkan kepadanya—menolak menyebutnya sebagai
ghanimah. Karena ghanimah itu apa yang diambil secara paksa dengan
kekuatan, bukan dengan pencurian ataun penggelapan. Dan biasanya
pencurian itu dilakukan dengan tipu daya, maka dinilai sebagai mata
pencaharian yang halal, tidak beda dengan mengumpulkan kayu bakar dan
berburu.”
Imam al-sarkhasi meriwayatkan bahwa imam syafi’i
berkata: “ghanimah itu harta kekayaan yang orang muslim ambil dari orang
kafir dengan mempergunakan kekuatan atas meraka.”
Imam Syafi’i
berkata lagi: “mempergunakan kekuatan atas mereka itu termasuk
menggunakan kekuatan secara langsung atau dengan tipu daya, karena
Rasululloh saw bersabda: (perang itu tipu daya).”
Jadi menurut
imam syafi’i, harta yang diambil dari orang kafir secara
sembunyi-sembunyi mustinya dinilai sebagai ghanimah, bahkan walau pun
tanpa menggunakan kekuatan.
Dalam kitab tuhfat al-muhtaj fi
syarhi al-minhaj, ibnu hajar al-haytami mengatakan: “hasil curian dari
darul harbi adalah ghanimah.”
Dalam kitab al-minhaj, Imam
Nawawi mengatakan: “harta yang diambil dari darul harbi dengan kekuatan
adalah ghanimah, begitu juga apa yang diambil oleh perorangan atau
sekelompok orang dengan cara mencuri.”
Dalam fatawa Al-Subki
–mazhab Syafi’i—penulis meriwayatkan pendapat dari dua imam mazhab
syafi’i yang paling menonjol ; imam Al-Ghazali dan imam Al-Rafi’i.
Al-Subki mengatakan: “Al-Ghazali mengatakan jika seorang muslim mencuri
harta dari orang kafir, maka seluruhnya menjadi miliknya, tidak dipotong
aturan seperlima (tidak ada *takhmis*).
Sedangkan Al-Rafi’i memegang pendapat yang menyatakan si pelaku memiliki 80% dari hasilnya, sebagaimana harta ghanimah."
Dalam kitab al-furu, ibnu muflih –mazhab hambali—berkata: “kalau ada
sekelompok atau perorangan bahkan seandainya dia seorang budak memasuki
darul harbi tanpa ijin imam, maka harta yang mereka rampas adalah fai”.
Walaupun kebanyakan pendapat di mazhab hambali menyatakan harta yang
diambil itu berstatus ghanimah, penulis al-furu di atas menyebutkan
pendapat lain yaitu fai. Yang berarti seluruhnya harus diserahkan kepada
imam, yang pembagiannya sesuai kebijakan sang imam.
Imam ibnu
taimiyah menyatakan dalam al-fatawa, "jika seorang muslim , memasuki
darul harbi, lalu menculik orang kafir atau anak mereka atau menggunakan
kekuatan atas mereka dengan cara apa pun, maka jiwa dan harta orang
kafir itu halal bagi orang muslim.”
II. Persoalan riba di darul harbi
Imam Al-Kasani dari Mazhab Hanafi berkata: “kalau seorang muslim atau
seorang ahlu dzimmah memasuki darul harbi dengan perjanjian (jaminan
keamanan) lalu dia melakukan transaksi dengan seorang harbi secara
ribawi atau transaksi illegal lain menurut islam, hal itu diperbolehkan
menurut imam Abu hanifah dan Muhammad.”
Walau demikian kita
harus perhatikan semua mazhab yang lain telah sepakat bahwa mengambil
riba dari orang kafir harbi di darul harbi itu tidak diperbolehkan bagi
seorang muslim.
Begitu pendapat imam abu yusuf dari mazhab
hanafi: “apa-apa yang dilarang bagi seorang muslim di darul islam,
dilarang juga baginya di darul harbi.” (7)
III. Kesimpulan
Berdasarkan kutipan-kutipan dari para ulama terdahulu di atas, bisa disimpulkan demikian:
1. Semua ulama sepakat atas diperbolehkannya mengambil harta orang
kafir di darul harbi, baik dengan cara penggunaan kekuatan, atau dengan
mencuri dan tipu daya.
2. Para ulama berbeda pendapat dalam hal
pembagian harta yang diambil dengan cara mencuri dan tipu daya.
Mayoritas berpendapat itu adalah ghanimah, maka seperlimanya harus
diserahkan kepada amir untuk dipergunakan dalam jihad. Dan ada pendapat
alternatif dari Mazhab Hanafi yang memandang itu sebagai sumber
penghasilan biasa yang mubah, yang keseluruhan hasilnya menjadi hak
milik si pelaku usaha.
Tapi ada juga pendapat minoritas, bahwa itu adalah fai yang seluruh alokasi pengunaannya menurut kebijakan imam.
implikasinya bagi kita:
Setiap muslim yang tinggal di darul harbi harus menghindari membayarkan
apa pun dari hartanya kepada orang kafir, baik berupa pajak,
biaya-biaya maupun denda. Jika seorang muslim diperbolehkan menipu orang
kafir untuk mendapatkan harta mereka, maka dia juga diperbolehkan untuk
menipu mereka supaya tidak musti membayarkan harta mereka kepada orang
kafir.
Walau pun diperbolehkan untuk mengambil harta orang
kafir di darul harbi, kami menyarankan kepada kaum muslimin untuk
menghindari target warga negara dari negara-negara yang memiliki publik
opini yang mendukung urusan kaum muslimin.
Karena itu kami menyarankan yang dijadikan target adalah:
1. Milik-milik pemerintah
2. Bank-bank
3. Perusahaan multi nasional
4. Harta milik orang kafir yang diketahui kebencian dan permusuhannya terhadap islam dan kaum muslimin.
Dalam kasus amerika serikat, baik pemerintah maupun warganya harus
dijadikan target. Amerika dan orang amerika adalah pemimpin kekufuran
hari ini. Orang amerika yang memberikan suaranya dalam mendukung perang
adalah orang yang memiliki itikad tidak baik, siapa pun yang bisa
memberikan mudarat kepada mereka dalam bentuk apa pun maka ia telah
berjasa bagi ummat.
Perhatian harus ada kepada perhitungan
risiko dan keuntungan (maslahat) dalam setiap operasi. Karena begitu
negatif implikasinya bila operasi ini terbuka. Penting menghitung dengan
cermat untung-ruginya! (Risiko yang diambil harus sesuai dengan
maslahat yang tergambar.)
Kepada orang-orang muslim yang
bergabung dengan kelompok jihad, kami menyarankan keputusan untuk
melibatkan orang-orang tertentu dalam kegiatan mendapatkan harta dari
orang kafir ini, diambil oleh amir secara musyawarah jamaah. Kami
sampaikan ini, karena pertanggungjawaban nantinya menjadi beban jamaah,
maka keputusan pun harus dibuat oleh jamaah.
Kami juga
merekomendasikan penggunaan hasilnya diserahkan kepada amir dan syuro.
Bila jamaah berpandangan bahwa hasil itu berstatus ghanimah, maka jika
yang akan diberikan kepada para pelaku usaha adalah kurang dari 80%
hendaknya dimusyawarahkan sebelumnya dengan mereka, sebab secara aturan
syar’i soal ghanimah mereka wajib menerima 80% utuh. Begitu juga bila
jamaah memegang pendapat mazhab hanafi.
Disarankan kepada
orang-orang muslim yang tidak bergabung dengan kelompok jihad mana pun,
tapi memperoleh harta dari orang kafir secara ilegal, untuk mendonasikan
semuanya kepada kegiatan jihad, kecuali mereka butuh, maka tidak boleh
melebihi 80%.
Urusan islam ini tidak bisa hanya bergantung
kepada para relawan, maka untuk menyokong saudara –saudara kita yang
full-time bekerja untuk urusan Islam, pemasukan mereka bisa diambilkan
dari harta yang diperoleh dari orang kafir ini. Hal ini harus dijadikan
salah satu pos anggaran alokasi dana. Terlebih bagi grup yang
orientasinya full jihad, yang mana begitu sedikit sumber daya
manusianya. Sehingga ketika mereka sudah dapat mencukupi kebutuhannya
mereka tidak perlu membagi waktunya untuk mencari penghidupan yang bisa
mengurangi waktu mereka untuk urusan jihad ini.
Mereka harus
mengikuti sunnah Rasululloh saw dan hidup dari ghanimah. Hal ini
penting, khususnya bagi ikhwah yang berada di posisi leader pada suatu
jamaah. Karena jihad di seluruh dunia dangat membutuhkan dukungan dana,
kami mendesak kepada saudara-saudara kita yang berada di negara-negara
barat untuk menjadikan hal ini sebagai prioritas dalam rancangan
strategi mereka. Dari pada kaum muslimin mendanai jihad ini dari kocek
mereka sendiri, justru seharusnya mereka mendanainya dari kocek
musuh-musuh mereka.
Di akhir bahasan, saya akan menjawab apa
yang dikatakan oleh sebagian muslim yang lemah, bahwa fatwa semacam ini
hanya akan makin memperburuk citra muslim di dunia barat dan bukan hal
yang bagus untuk strategi dakwah.
Sebagai jawaban atas klaim, bahwa fatwa itu akan makin memperburuk citra muslim di dunia barat, saya katakan:
1. Sejak kapan dunia barat mulai memliki pandangan citra yang bagus
tentang islam? Dunia barat selalu memandang bahwa islam dan muslim itu
buruk, kasar, keras kepala, terbelakang. Baca lah literatur-literatur
barat. Lihat lah gambaran tentang islam dan kaum muslimin yang mereka
tampilkan di media-media barat.
2. Satu-satunya cara agar
mereka menilai Anda baik, bagus.. ya dengan menjadi seperti mereka.
Alloh berfirman: “dan sekali-kali tidak akan ridho orang yahudi dan
nasrani kepada kamu, sampai kami ikuti millah mereka.” (Qs.2:120).
3. Alloh berfirman tentang wali-walinya: “mereka tidak takut kepada
celaan orang-orang yang mencela.” (Qs. 5:54) Karena itulah tidak
seharusnya anda peduli kepada apa yang orang-orang kafir pikirkan
tentang anda. Yang mesti anda pedulikan itu bagaimana posisi anda di
sisi Alloh dan Rasul-Nya dan penilaian orang-orang beriman terhadap
anda.
4. Dunia barat sudah sejak lama menjarah harta kekayaan
kita, semenjak berabad-abad lalu. Sekarang waktunya mengambil kembali,
insyaa Alloh.
Untuk menjawab klaim yang kedua bahwa fatwa tersebut bisa berakibat buruk bagi dakwah ,saya katakan:
1. Pedang adalah dakwah terbaik. Sedangkan fatwa tersebut mendukung
“pedang” tadi, maka pada akhirnya ini bagus untuk dakwah. Ketika
Rasululloh saw berdakwah di mekah selama 13 tahun Cuma beberapa ratus
saja yang menjadi muslim, bandingkan dengan ketika beliau saw sudah
hijrah ke madinah. Hanya dalam tempo 10 tahun, lebih dari seratus ribu
orang memeluk islam.
Jadi, kenapa bisa dakwah Nabi saw di madinah
lebih membuahkan hasil dibandingkan dengan ketika di mekah? Karena di
madinah Nabi saw berdakwah dengan kekuatan. Itulah dakwah yang didukung
dengan pedang.
2. Jihad hari ini hukumnya fardhu ‘ain,
kewajibanya mengenai setiap individu, orang per orang. Maka jihad harus
didahulukan dari dakwah, karena dakwah itu hukumnya sunnah mu’akaddah
atau fardhu (wajib), hanya sifatnya fardhu kifayah.
Karena itu semua hal yang mendukung jihad harus didahulukan dari semua yang berkaitan dengan dakwah. Jihad adalah prioritas.
*ayyuhal ikhwah… *jihad itu sangat membutuhkan dana. Dalam al-Quran,
jihad fisik selalunya dikaitkan pada jihad dengan harta di delapan ayat.
Semuanya diawali dengan menyebutkan *bi amwalikum (dengan harta kalian)
*baru setelahnya *bi anfusikum (dengan jiwa kalian). *Kecuali satu
ayat. Karena tidak ada dana, tidak ada jihad.
Musuh kita sudah
menyadari ini. Makanya mereka selalu melacak dan mengawasi aliran-aliran
dana yang mencurigakan dan berusaha untuk terus membekukan
sumber-sumber dana yang disinyalir mendanai “terorisme”.
Jihad
kita ini *(ayyuhal ikhwah..) *tidak bisa terus-terusan tergantung kepada
donasi kaum muslimin. Rasululloh saw banyak mengirimkan grup *sariyah*
untuk mencegat dan merampas kafilah-kafilah dagang milik orang-orang
kafir.
Memang, jihad tidak hanya didanai dari harta rampasan,
tapi kalau melihat sejarah kita di masa awal-awal, perbendaharaan kaum
muslimin itu kebanyakan dihasilkan dari jihad.
Pajak yang
disebut *khoroj *dikenakan atas tanah-tanah yang ditaklukan oleh kaum
muslimin. Tawanan perang yang akhirnya menjadi budak, bisa
diperjual-belikan, * jizyah *yang dibayar oleh ahlul kitab, semua sumber
dana ini ada karena jihad. Zakat dan sedekah itu hanya menyumbang porsi
kecil dari keseluruhan pendapatan negara islam.
Sudah waktunya
kita mengambil langkah serius untuk mengamankan pasokan dukungan
finansial kita, daripada selalu tergantung kepada sumbangan dan
sumbangan.
Semoga Alloh ta’ala mengampuni kita dan memberikan kita tempat derajat mujahidin.
*Footnotes:*
*[1]* HR. Ahmad.
*[2]* dikutip dari buku, *”The explanation of the ĥadīth, ‘I was sent
before the hour with the sword…’” *karya Ibn Rajab al-Hanbali.
*[3]* HR. Bukhari.
*[4]* Al-Jurjani.
*[5*] *Al-Sharĥ al-Kabīr *karya al-Maqdisi.
*[6]* Note: Ketika para ulama berbicara soal aturan seperlima (takhmis), berarti harta itu diklasifikasikan sebagai ghanimah.
*[7]* Note: Sebagian muslim yang tinggal di negara-negara barat
mengklaim bahwa karena kita diperbolehkan mengambil bunga dari orang
kafir maka kita juga boleh membiaya pembelian rumah kita lewat aplikasi
kredit. Orang-orang ini tertipu oleh syaitan dan arahan ulama yang
salah. Yang dimaksud oleh mazhab hanafi hanyalah, orang muslim boleh
untuk “mengambil” bukan “membayar” bunga. Alasan mazhab hanafi adalah
karena pada dasarnya jiwa dan harta orang kafir itu halal bagi orang
muslim. Jadi bagaimana bisa fatwa itu dipakai untuk mengklaim bahwa kita
boleh membayarkan harta kita ke mereka?!
Source:
karomah12 (dengan sedikit editing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar