JANGAN BERMAKSIAT
Oleh
: Syaikh Najih Ibrahim
Sebagian ikhwah mungkin menyangka bahwa Allah akan memakluminya jika ia
bermaksiat lantaran menurutnya ia telah lama beriltizam kepada Islam dan
bergabung dengan para aktivis Islam. Maka ia pun memandang remeh urusan
maksiat. Apalagi setelah berlalunya masa yang panjang dari iltizamnya, setelah
mulai berkurang dan menipis hamasahnya
(semangat), hamiyyahnya (pembelaan),
dan ghirahnya. Ada banyak faktor pemicu yang bukan di sini tempat membicarakannya saat
ini.
Ketika seseorang telah menganggap remeh dosa-dosa kecil, atau mentolerir
perkara-perkara syubhat, dengan segera ia akan merasakan akibatnya dari Allah
‘azza wa jalla. Dahsyat memang!
Pernah ada seseorang yang melakukan perbuatan maksiat, beberapa jam kemudian
ia sudah mendapati hukuman yang berat dikarenakan perbuatannya itu. Ia
kebingungan, dan berkata kepada dirinya sendiri, “Aku telah melakukan perbuatan
dosa yang semacam ini atau bahkan yang lebih besar lagi, lebih dari 100 kali
sebelum aku beriltizam dan aku tidak mendapati hukuman atas perbuatanku itu.
Sekarang, hukuman yang aku dapati sangatlah cepat, langsung, dan kuat!”.
SEANDAINYA ORANG INI
MENGERTI AGAMANYA DENGAN BAIK, NISCAYA IA AKAN MENGERTI BAHWA SEBENARNYA ALLAH
SEDANG ‘CEMBURU’ ATAS DILANGGARNYA PERKARA-PERKARA YANG DIHARAMKAN-NYA.
KECEMBURUAN ALLAH INI SEMAKIN BESAR MANAKALA PELAKU PELANGGARAN ITU ADALAH
WALI-WALI-NYA YANG SELAMA INI MENDEKATKAN DIRI KEPADA-NYA, YANG SEMESTINYA
MENJADI ORANG YANG PALING JAUH DARI SEGALA BENTUK KEMAKSIATAN.
Para pembawa panji risalah Islam adalah orang-orang yang semestinya paling
bertakwa kepada Allah dan paling menghindari dosa-dosa kecil serta
perkara-perkara syubhat, apalagi yang haram. Mereka melarang orang lain
melakukannya; bagaimana bisa mereka sendiri melakukannya?
Lebih dari itu, ini akan melahirkan fitnah di kalangan kaum muslimin pada
umumnya saat mereka mengetahuinya ~dan suatu saat mereka pasti akan tahu~ dan
akan mengakibatkan hilangnya martabat qudwah
dan uswah yang seharusnya menjadi
perhiasan bagi setiap ikhwah.
Karena itulah Allah berfirman :
”Tetapi jika kamu
menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran,
maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Qs. Al-Baqarah : 209)
Perhitungan bagi mereka adalah perhitungan yang berat; lebih berat dan
lebih sulit dibandingkan dengan perhitungan untuk orang-orang selain mereka.
Untuk itu hendaknya setiap ikhwah mengerti dengan ilmu yakin bahwa antara Allah
dan salah seorang anak Adam itu ~apa pun pangkatnya~ tidak ada hubungan kerabat
atau kekeluargaan. Allah senantiasa memutuskan sesuatu dengan tepat dan adil.
Setiap ikhwah yang tergabung dalam sebuah jamaah Islam hendaknya
mengingatkan diri dengan firman Allah ta’ala :
”(Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu”. (Qs. An-Nisa` : 123)
Ayat ini
oleh sebagian sahabat dianggap sebagai ayat yang paling berat dalam al-Qur`an[1].
Saya sendiri menganggap ayat ini sebagai ayat yang paling mengerikan dan
paling menggetarkan seluruh persendian.
Ayat di atas berbicara kepada para sahabat. Siapa yang tidak mengenal kualitas mereka? Jika demikian, bagaimana dengan
orang-orang seperti kita, yang sering beramal shalih, tetapi juga sering
beramal buruk?
Ayat ini
benar-benar menjadi lonceng yang berdentang untuk membangunkan setiap orang
yang berada di dalam sebuah jamaah Islam. Timbangan yang adil tidak akan mengistimewakan seorang pun, siapa pun dia.
Lihatlah Bal’am bin Ba’ura yang konon mengetahui nama Allah yang teragung;
ketika ia bermaksiat kepada Rabbnya, ia pun berubah seperti anjing, dalam
segala keadaan selalu menjulurkan lidah[2].
Dosa dan kemaksiatan adalah sumber malapetaka. Tidak ada bencana yang
menimpa melainkan dosalah penyebabnya, dan bencana tidak akan dihentikan
kecuali dengan taubat.
Ada seorang syaikh yang berkeliling dari satu majlis ke majlis yang lain
seraya berkata, “Barangsiapa ingin dilanggengkan kesehatannya, hendaknya ia
bertakwa kepada Allah!”
Ada satu hadits mulia berbunyi
Abu
Utsman an-Naisaburiy putus sendalnya ketika ia berjalan untuk menunaikan shalat
Jum’at. Ia pun memperbaikinya beberapa saat, lalu berkata, “Sandal ini putus
karena aku tidak mandi Jum’at”.
Ibnul
Jauziy berkata, “Salah satu hal yang menakjubkan dari balasan di dunia; tangan
saudara-saudara Yusuf telah terjulur untuk menzhaliminya, maka tangan-tangan
itu kembali terjulur di hadapan Yusuf sementara pemilik tangan-tangan itu
berkata, ‘Mohon, bersedekahlah kepada kami!’”.[4]
Terkadang, hukuman itu bersifat maknawi. Betapa banyak orang yang memandang
sesuatu yang diharamkan oleh Allah, karenanya Allah menghalanginya dari cahaya bashirah.
Betapa banyak orang yang mengucapkan kata-kata yang haram, karenanya Allah
menghalanginya dari bening hati. Atau karena ia mengkonsumsi makanan yang
syubhat ~dengan begitu ia menzhalimi hatinya~ ia terhalangi dari qiyamullail dan shalat untuk bermunajat.
Akibat lainnya; bahwa kemaksiatan itu akan mengantarkan kepada kemaksiatan
yang lain, kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan berikutnya, begitu
seterusnya.
Seorang yang bermaksiat mungkin saja melihat badan, harta, dan keluarganya
baik-baik saja. Ia merasa tidak ada hukuman atas kemaksiatan yang dilakukannya.
Sebenarnyalah saat itu ia sedang mendapat hukuman. Cukuplah menjadi hukuman
baginya saat manisnya kelezatan berubah menjadi hambar tak berasa dan yang
tersisa tinggal pahitnya penyesalan, kesedihan dan kegelisahan.
Diriwayatkan
ada beberapa orang pendeta Bani Israil bermimpi melihat Rabbnya, ia berkata,
“Duhai Rabbku, betapa aku telah banyak bermaksiat kepada Mu tetapi Engkau tidak
pernah memberikan hukuman atas semua itu?” Rabbnya menjawab, “Betapa banyak aku
telah memberikan hukuman kepadamu, tapi kamu tak pernah tahu. Bukankah aku telah menghalangimu dari merasakan manisnya bermunajat kepada
Ku?!”.
Kadang-kadang buah dari kemaksiatan berupa Allah menjadikan kebencian dari
berbagai hati kepadanya, atau terhalanginya dakwah tanpa sebab yang jelas. Abu
Darda` ra berkata, “Ada seorang hamba yang sembunyi-sembunyi bermaksiat kepada
Allah ta’ala lalu Allah menumbuhkan rasa benci dalam hati orang-orang yang
beriman kepadanya tanpa pernah ia menyadarinya.”
Dalam
kitab Al-Fawaid, Ibnul Qayyim telah meringkas berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan oleh kemaksiatan
dengan sistematika yang bagus sekali, beliau menulis:
“Hidayah
yang sedikit, ra`yu yang rusak, kebenaran yang tersembunyi, hati yang
bobrok, ingatan yang lemah, waktu terbuang sia-sia, makhluk menjauhinya, takut
berhubungan dengan Rabbnya, doa tidak dikabulkan, hati yang keras, rizki dan
umur yang tidak berbarokah, terhalangi dari ilmu, diliputi kehinaan,
direndahkan oleh musuh, dada yang sempit, mendapatkan teman-teman jahat yang
merusak hati dan membuang-buang waktu, kesedihan dan kegundahan yang panjang,
kehidupan yang menyesakkan dan pikiran yang kacau… semua itu merupakan buah
kemaksiatan dan akibat kelalaian dari dzikrullah,
seperti halnya tetumbuhan subur dengan air dan kebakaran bermula dari sepercik
api. Begitupun sebaliknya, semua kebalikan dari hal-hal
tersebut di atas merupakan buah dari ketaatan”.[5]
Pernah salah seorang salaf ditanya, “Apakah seorang yang sedang bermaksiat
itu dapat merasakan lezatnya ketaatan?” Ia menjawab, “Bahkan orang yang
berhasratpun tidak (akan merasakan kelezatannya).”
Ibnul Jauzi berkata, “Barang siapa memperhatikan kehinaan yang dirasakan
oleh saudara-saudara nabi Yusuf as ketika mereka berkata, ‘Mohon, bersedekahlah
kepada kami!’, niscaya ia akan mengerti akibat buruk dari kesalahan meskipun
telah diikuti dengan taubat. Sebab seseorang yang punya baju robek kemudian
menjahitnya tidak sama dengan orang yang memiliki baju baru”.
Waspadalah terhadap kejahatan yang disepelekan. Ia mungkin saja dapat
membakar negeri. Wahai yang senantiasa tergelincir, mengapa kau tidak
memperhatikan apa apa yang membuatmu tergelincir?!
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dengan
sanadnya dari ‘Aisyah ra katanya, “Aku berkata,
‘Wahai Rasulullah, sungguh aku telah tahu ayat terberat yang ada di dalam
al-Qur`an.’ Beliau bertanya, ‘Apa itu wahai ‘Aisyah?’ Aku menjawab,
‘Barangsiapa mengamalkan suatu keburukan niscaya akan mendapatkan balasannya’
Lalu beliau bersabda, ‘Apa pun yang dilakukan oleh seorang mukmin sampai
kerikil yang dilemparkannya’”
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir
dari Hasyim dengan lafazh yang sama, Abu Dawud dari Abu ‘Amir Shalih bin Rustum
al-Khazzar, dan tertera dalam Tafsir Ibnu Katsir 1/558
[2] Lihat tafsir ayat 175 dari surat al-A’raf.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 402,
dan Ahmad 5/277 dari Tsauban ra. Dalam az-Zawaid
disebutkan, ‘Isnadnya hasan’.
[4] Shaidul Khathir hal. 73
[5] Al-Fawaid, Ibnul qayim, hal 43. cet.
Maktabatul hayah, Beirut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar