Selasa, 08 Mei 2012

Fakta perpecahan "salafy"

Fakta Perpecahan di Tubuh “Salafi”
Kata salafi kerap dianggap sebagai kata sakti untuk mengobati perpecahan umat. Tapi sayang,
mereka yang gemar menyandang gelar salafi ternyata manusia yang paling berpotensi tafarruq
alias berpecah-belah. Ada perbedaan sedikit saja, akan menjadi persoalan besar yang
menggegerkan. Tahdzir (hujatan) mudah sekali diobral untuk menghasilkan efek: jika semua
orang bisa dibongkar aibnya, maka pendengar secara otomatis akan menganggap saya yang
paling benar !
Tradisi menghujat ini pada gilirannya menular kepada murid-murid para ustadz salafi. Seolah
dengan memiliki ilmu menghujat (tahdzir) akan membuat kualitas keimanan seseorang makin
mantap. Bahkan bukan hanya memiliki ilmu tersebut, tapi lebih jauh menghayatinya sampai
mendarah-daging. Kualitas keimanan penganut “salafi” ditentukan oleh kualitas dan kuantitas
hujatan yang mampu ia obral !
Berikut fakta-fakta yang akan membuat Anda makin paham apa itu salafi dan apa isi kepalanya.
Supaya Anda tidak perlu sakit hati jika mendengar mereka sedang menghujat, karena memang
tahdzir (menghujat) adalah salah satu bentuk “ibadah” penganut “salafi-murjiah” modern !
Mukaddimah
Dari Abu Najih Irbad bin Sariyah, Rasulullah saw bersabda: “Dan siapa diantara kalian yang
(kelak) masih hidup, maka ia akan banyak menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpegang
teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk
setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah
oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah
dan setiap bida’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Tema tentang salaf dan salafi barangkali sudah terlalu sering dibahas. Secara ringkas, Salaf
adalah manhaj yang telah ditempuh oleh generasi terbaik umat ini; sahabat, tabi’in dan tabi’
tabi’in. Adapun salafi adalah sosok yang senantiasa berusaha untuk meniti jejak langkah mereka
baik dalam masalah akidah, ibadah maupun mu’amalah.
Imam Auza’i menyebutkan lima hal yang senantiasa melekat pada diri sahabat Nabi saw dan
kalangan tab’in; senantiasa bersama dengan al jama’ah (Ahli Sunnah Wal Jama’ah), mengikuti
sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad di jalan Allah” . [ 1 ]
Apa yang disebutkan Imam Auzai’ merupakan sebagian contoh yang dilakukan kalangan salaf.
Maka salafi adalah sosok yang berusaha meniti jejak langkah mereka siapa saja orangnya. Dan
jika ada yang mengklaim dirinya salafi tapi jauh dari kelima hal tersebut maka label salafi tidak
ada artinya sama sekali.
Salafi bukanlah sosok yang hanya mendengar perkataan dari ustadz atau kelompoknya saja
dengan meremehkan kalangan yang lain. Salafi bukanlah sosok yang mengatakan Lebih baik
mati dalam keadaan bodoh dari pada ngaji dengan ust. Fulan. Mereka berdalih, dalam rangka
merealisaiskan pernyataan para ulama hadits terdahulu dalam memberlakukan kaidah jarh dan
ta’dil.
Syaikh Bakr Abu Zaid [2] –rahimahullah- dalam bukunya Tashnif An Naas Baina ad Dzan Wal
Yaqin telah mencium gelagat tersebut. Beliau menyatakan: “Terkadang dia menempuh cara yang
dilakukan oleh sebagian ahli hadits terhadap para perawi yang lemah, – dan alangkah berbeda
kedua jalan itu…semua itu adalah perbuatan syetan. Dan dari sinilah jiwanya merasa senang
dengan pandangan para pengkritik itu. Yaitu ketika mereka berhasil memalingkan perhatian dari
apa-apa yang seharusnya diperhatikan, lalu orang-orang sibuk saling mencela antar sesamanya”.
Tiga Sifat Salafi Ekstrim
Dalam diri kelompok salafi –meski tidak semuanya- terdapat tiga sifat ekstrim; sifat Khawarij,
Murjiah dan Rafidhah. Khawarij dalam arti bersikap arogan, kasar, memusuhi, memblacklist,
membid’ahkan setiap da’i, aktifis atau ustadz yang bukan dari kalangannya atau yang berbeda
dengannya meski mengklaim sesama salafi.
Mereka Murjiah dalam arti lembut, lunak, menolong, membantu, mencintai, siap menjadi garda
terdepan dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang anti dengan syariat Islam atau
musuh Islam. Padahal Syaikh Bakr Abu Zaid dengan mengutip perkataan Ibn Al Qayyim berkata:
“Bid’ah yang paling besar adalah menanggalkan Al Kitab dan Sunnah Rasul-Nya dan membuat
hukum baru yang menyelisihi keduanya”.
Mereka juga bersikap Rafidhah dalam arti menolak semua kelompok dan mengklaim hanya
kelompoknya yang benar dan selamat adapaun yang lainnya adalah kelompok yang akan binasa
dan neraka tempatnya. Hal ini seperti yang terjadi di Mu’tamar Ahli Sunnah di Texas Amerika;
Salim Hilali, Ali Hasan Al Halabi dan Usamah Al Qushi dalam obrolannya menyatakan Jama’ah
Tabligh dan Jam’iyyah Syar’iyyah merupakan kelompok yang akan masuk neraka. Yang kemudian
mereka ditegur oleh Syaikh Muhammad Hassan dan Syaikh Shafwat Nuruddin rahimahullah .
Mereka menyatakan kelompok-kelompok yang ada adalah hizbiyah dan yang tidak hizbiyah
hanyalah kelompoknya. Namun ternyata kalangan seperti ini jauh lebih berhizbiyah dari pada
kalangan lainnya. Ini namanya ‘Maling Teriak Maling’.
Perpecahan Salafi
Seorang ustadz senior salafi ketika ditanya dalam salah satu siaran radio islami, kenapa
kalangan salafi berbeda-beda? Ustadz tersebut hanya menjawab perbedaan yang terjadi
hanyalah perbedaan dalam masalah furu’ bukan masalah prinsifil. Benarkah apa yang dikatakan
sang ustadz? Atau hanya sekedar menutupi agar para muridnya tidak tahu hakikat yang
sebenarnya, bahwa memang telah terjadi perpecahan yang cukup dahsyat sehingga antara yang
satu dengan yang lain saling membid’ahkan? Kalau memang perbedaan itu bukan dalam
masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi
tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di
atasnya.
Dalam hadits tersebut –hadits Irbad bin Sariyah- Rasulullah saw telah mengabarkan kepada
kita, bahwa umat ini akan mengalami perselisihan dan perpecahan. Tidak luput dari hadits
tersebut adalah kelompok yang menamakan dirinya salafi yang kini sudah berkeping-keping
menjadi beberapa kelompok.
Bagi penulis sulit rasanya untuk memastikan kapan awal perpecahan itu terjadi. Hanya saja
Syaikh Bakr Abu Zaid paling tidak delapan belas tahun yang lalu beliau telah merasakan adanya
perpecahan dalam tubuh salafi. Beliau menyatakan: “Sepanjang yang saya ketahui, perpecahan
yang terjadi dalam barisan Ahli Sunnah ini merupakan musibah yang pertama kali terjadi,
dimana orang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahli Sunnah) justru mencela Ahli Sunnah.
Dan memposisikan dirinya sebagi tentara untuk menyerang dan menebar kekacauan dan
memadamkan semangat mereka, menghadang di jalan dakwah mereka dan melepaskan tali
kendali lisan untuk mencela kehormatan para da’i dan membuat rintangan di jalan dakwah
mereka dengan fanatisme buta”.
Pernyataan Syaikh Bakr dalam bukunya tersebut sebenarnya ditujukan kepada siapa saja yang
hobinya menggolong-golongkan manusia, tanpa menunjuk hidung seseorang. Sehingga dalam hal
ini Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali merasa tersinggung dan membantah buku tersebut dengan
judul Al Hadd Al Fashil Bainal Haqq Wal Bathil yang kemudian bukunya (Syaikh Rabi’) dibantah
lagi oleh Syaikh Abu Abdillah An Najdi dengan judul ‘Nadzarat Salafiyyah Fii Aaraa As Syaikh
Rabi’ Al Madkhali.
Belum lagi perseteruan antara Syaikh Rabi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq. Sehingga
pada tahun 1997 kalangan salafiyah Kuwait meminta pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz
tentang sikap Syaikh Rabi yang kasar dan arogan. Maka Syaikh menyatakan dalam fatwanya:
“Adapun Syaikh Rabi’ aku akan menulis surat untuknya dan akan aku nasehati” .
Akhir-akhir ini perseteruan antar tokoh salafi seperti Syaikh Rabi’ dengan Syaikh Ali Hasan Al
Halabi, Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi, Syaikh Usamah Al Qushi, Syaikh Falih Al Harbi [ 3 ] dan
lain-lain semakin membara bagaikan api yang sulit dipadamkan. Padahal sebelumnya mereka
sangat memuliakan Syaikh Rabi’ dan menganggapnya sebagai imam Ahli Sunnah dan imam Jarh
Wa Ta’dil pada masa ini. Tidak bisa dipungkiri imbasnya adalah apa yang terjadi di sana terjadi
juga di Indonesia.
Salafiyah Murjiah
Kalangan salafi jelas tidak menerima istilah ini dan menuduh kalangan yang melabelinya dengan
sebutan khawarij, ikhwani, quthbi, sururi dan lain-lain. Di sini perlu dicatat bahwa justru yang
menyebut salafi dengan label tersebut datang dari sosok yang telah lama berinteraksi dengan
Syaikh Albani dan pernah terjerumus dalam faham Murjiah, yaitu Syaikh Abu Malik Muhammad
Ibrahim Syaqrah dalam bukunya Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud. Beliau
menyebutnya dengan As Salafiyyah Al Murji’ah, Firqah As Salafiyah Al Murjiah, As Salafiyah Al
Murji’ah Al Jadidah dan ungkapan-ungkapan lainnya.
Setelah mengakui kekeliruannya dalam masalah iman yang terjerumus kepada faham Murji’ah
maka beliau bertaubat dan sebagai bentuk keseriusan taubatnya beliau menulis dua buku Aina
Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fii Diin Al Murjiah Al Judud (Dimana Letak (kalimat) Laa Ilaaha Illallah
Dalam Agama Murjiah Kontemporer) , A Akhta’a An Nabiyyun Wa Ashaba Al Atsariyyun (Apakah
Para Nabi Yang Salah dan Kalangan Atsariyun (Salafiyun) Yang Benar?) , dan beliau memberi
pengantar kitab Haqiqah Al Iman ‘Inda As Syaikh Al Albani (Hakikat Iman Menurut Syaikh Albani).
Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Di Indonesia Syaikh Ali Hasan Al Halabi bagaikan qadhi (hakim), yang memegang keputusan dan
kendali. Bahkan dianggap sebagai imam jarh dan ta’dil. Jika ada seorang syaikh yang datang ke
Indonesia maka ia akan dimintai fatwa dan pendapatnya tentang sosok syaikh tersebut. Jika Ali
Hasan mengatakan bahwa syaikh tersebut sururi atau label lainnya maka pengikutnya yang ada
di Indonesia akan manut dan langsung mem-pending seluruh jadwal syaikh tersebut. Ali Hasan di
kalangan mayoritas salafi Indonesia mempunyai kedudukan yang tinggi. Jika ada yang mengkritik
atau mencelanya maka sama artinya dengan mencela Syaikh Albani. Kenapa kalangan salafi
Indonesia lebih mengidolakan Ali Hasan yang tidak sedikit para ulama menyatakan dia adalah
orang yang sesat dan menyesatkan?
Di sini penulis perlu menjelaskan secara ringkas siapa Syaikh Ali Hasan dan tentunya hal ini pun
berdasarkan fakta dan data yang dikemukakan oleh kalangan yang tahu perisis tentang Syaikh Ali
Hasan sehingga kita tidak terjebak dalam kultus individu dan kelompok.
1. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dalam fatwa pengharaman dua kitab Ali Hasan Fitnah At
Takfir dan Shaihah Nadzir menggambarkan sosok Ali Hasan dengan: madzhabnya dalam
masalah iman adalah madzhab Murji’ah yang bid’ah dan bathil, menyeleweng dalam menukil
perkataan Ibn Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim, dusta atas nama Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah, menafsirkan pendapat ulama tidak sebagaimana yang mereka maksudkan,
meremehkan masalah tidak berhukum dengan hukum Allah, hendaknya ia mencabut pendapat-
pendapat ini, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah pada dirinya yaitu dengan kembali kepada
kebenaran, hendaknya bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu syar’i kepada ulama yang
keilmuannya terpercaya dan akidahnya benar.
Ali Hasan adalah sosok yang ngeyel sehingga ia pun membantah fatwa Komisi Fatwa dengan Al
Ajwibah Al Mutalaimah ‘An Fatwa Lajnah Daimah. Bantahannya tersebut dibantah lagi oleh
Syaikh Muhammad Ad Dausari yang diberi pengantar oleh beberapa ulama senior namun Ali
Hasan tetap ngeyel dan membantah buku tersebut.
2. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah. Beliau pernah menjadi penengah dalam debat Ali Hasan
dan DR. Abu Ruhayyim [4] yang kemudian beliau membenarkan dan memuji apa yang
disampaikan DR. Abu Ruhayyim. Dalam kasus ini Ali Hasan tidak amanah dalam menukil
pendapat ulama. Sampai-sampai Syaikh Syaqrah marah dan mengatakan; kalau bukan kamu
maka akan saya potong tangannya.
Dalam bukunya ‘Aina Taqa’ Laa Ilaaha Illallah Fi Dien Al Murjiah Al Judud , Syaikh merujuk dan
memuji buku yang ditulis Syaikh Muhammad Ad Dausari. Hal ini sangat berbeda dengan Ali
Hasan yang justru mencela dan membantahnya. Bahkan dalam bukunya, Syaikh Syaqrah
menyebut Ali Hasan sebagai ‘Embrio Salafiyah Murji’ah’.
Kalangan salafi banyak yang merujuk kepada pembelaan Syaikh Husain Alu Syaikh salah seorang
ulama Madinah yang menyebut Ali Hasan dengan saudara senior. Harusnya merekapun
membaca apa yang ditulis putra Syaikh Muhammad Syaqrah yaitu Ashim bin Muhammad
Syaqrah yang menulis bantahan ‘Ar Rudud Al Ilmiyah As Saniyyah yang ditujukan kepada Ali
Hasan dan pendukungnya, termasuk Syaikh Husain. Diantara salah satu pernyataannya;
Bagiamana bisa dikatakan saudara senior? Dari sisi usia jelas Ali Hasan lebih muda dari Syaikh
Husain. Dan jika dilihat dari sisi keilmuan jelas orang-orang yang duduk di komisi Fatwa jauh
lebih senior dari pada Ali Hasan.
Kembalinya Syaikh Muhammad Syaqrah kepada faham Ahli Sunnah dalam masalah iman diakui
juga oleh Abu Muhammad Al Maqdisi dalam Tabshir Al Uqala Bi Talbisat At Tajahhum Wal Irja’
dan Syaikh Abu Bashir. Bahkan Abu Bahsir menulis artikel dengan judul Li As Syaikh Muhammad
Syaqrah ‘Alayya Dain (Aku Mempunyai Utang Kepada Syaikh Muhammad Syaqrah). Ketika Abu
Bashir meminta maaf atas kata-katanya yang kasar –dalam buku-bukunya terdahulu- maka
Syaikh Syaqrah mengatakan: “Ya Abu Bashir, anda tidak perlu meminta maaf. Kalian berada
dalam jalan yang haq dan benar. Apa yang telah anda tulis, (dan yang ditulis oleh) Abu
Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah benar dan haq. Maka aku katakan kepada
manusia: sesungguhnya anda, Abu Muhammad Al Maqdisi dan Abu Qatadah adalah haq dan
benar maka tidak perlu meminta maaf. Orang yang benar tidak layak meminta maaf atas
perkara yang ia berada di atasnya”.
3. Dalam buku saku Ma’a Syaikhina Nashir As Sunnah Wa Ad Dien Fi Syuhur Hayatihi Al Akhirah,
Ali Hasan menyebutkan; Ketika Syaikh (Albani) dikubur aku memang jauh darinya, namun aku
adalah sosok yang paling akhir berbicara dengan Syaikh. Abdullatif, salah seorang putra Syaikh
Albani menyatakan bahwa yang paling terakhir berbicara dengannya selain keluarga dan
kerabatnya adalah salah seorang ikhwah dari Bahrain. Ini menunjukan kebohongan Ali Hasan
sang qadhi dan Ahli Jarh dan Ta’dil salafi Indonesia.
4. Ali Hasan adalah sosok yang suka melakukan plagiat dan mencuri karya orang lain yang
kemudian dinisbatkan kepada dirinya. Syaikh ‘Awadhallah pernah mengeluhkan permasalahan
ini kepada Syaikh Bakr Abu Zaid. Bahkan Abdul Aziz bin Faishal membuat artikel dengan judul Al
Farq Baina Al Muhaqqiq Wa As Sariq (Perbedaan Antara Muhaqqiq Dan Pencuri) kemudian
menyebutkan beberapa bukti di antaranya Ali Hasan mencuri hasil tahqiq Al Thanahi dan Az
Zawi dalam kitab An Nihayah karya Ibn Atsir dan mayoritas dari karya-karyanya banyak
membela dirinya dengan berlindung di balik nama besar Syaikh Albani. Padahal Ali Hasan tidak
pernah duduk lama-lama belajar dengan Syaikh Albani hal ini dikarenakan Syaikh juga sibuk
dengan tahqiq, takhrij dan ta’liq. Dengan Syaikh Albani, Ali Hasan hanya tuntas membaca kitab
kecil Nukhbah Al Fikr.
5. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam bukunya Dar’ul Fitnah ‘an Ahli Sunnah (Menepis Fitnah Yang
menimpa Ahli Sunnah) secara tidak langsung menyindir Ali Hasan. Beliau menyebutkan diantara
dampak negatif faham murjiah adalah meremehkan urusan shalat dan pemberlakuan syari’at
Allah untuk mengadili manusia. Bahkan mereka membantu orang yang berhukum kepada
thaghut padahal Allah telah memerintahkan untuk mengkufurinya. Jelas dalam dua buku Ali
Hasan; Fitnah At Takfir dan Shaihah Nadzir dia meremeh kedua masalah tersebut dan
menyatakan bahwa orang yang sibuk dengan masalah penegakan hukum Allah adalah mirip
dengan Rafidhah. Jelas ini sebuah kekeliruan dan keseatan.
6. Asy-Syaikh Rabi’ al Madkhali ditanya tentang ‘Ali Al-Halaby, maka Asy-Syaikh menjawab:
“Saya akan jelaskan kepada kalian keadaan ‘Ali Al-Halaby. Selama sepuluh tahun kami bersabar
atas dia dan apa yang dimunculkan dari fitnahnya, sedang dia memperkuat fitnah tersebut dan
berusaha untuk memecah belah dan membuat musykilah, diantaranya: Dia memberi kata
pengantar pada kitabnya Murad Syukri yang mana padanya ada aqidah murji’ah dan istidlal
(pendalilan) dengan ucapan ahlu bid’ah.
Penutup
Syaikh Albani termasuk yang menyatakan bahwa kata As Salafi yang kemudian diikuti dengan Al
Atsari adalah kalimat yang berat. Jika orang yang melabel dirinya dengan kata-kata itu
mengetahui maknanya maka ia akan berlepas diri dengan menanggalkannya. Hal ini diamini oleh
murid seniornya Syaikh Muhammad Syaqrah. Bahwa kata As Salafi jauh lebih berat dan
fitnahnya jauh lebih dahsyat dari pada kata Al Atsari maka sebaiknya tidak menggunakan label
tersebut karena akan melahirkan fanatisme, kesombongan dan meremehkan yang lainnya.
Perpecahan dalam tubuh salafi, saling membid’ahkan dan adanya klaim kebenaran rupanya
telah disinggung oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullah. Hal ini penulis tuturkan agar kalangan
salafi introspeksi dan melakukan evaluasi diri serta menyadari bahwa telah ada kekeliruan juga
dalam diri mereka.
Dalam mengomentari hadits di atas yaitu hadits ke 28 dalam Syarh Al Arbain An Nawawiyah
yang bersumber dari Irbad bin Sariyah beliau (Syaikh Al Utsaimin) berkata: “Dan tidak diragukan
lagi bahwa madzhab Umat Islam harus bermadzhab salaf bukan beravilial kepada hizb
(kelompok) tertentu yang menamakan dirinya dengan ‘SALAFIYYUN’. Yang menjadi keharusan
bagi Umat Islam adalah bermadzhab dengan madzhab As Salaf As Shalih bukan berhizbiyah
dengan nama ‘SALAFIYUN’. Di sana ada yang namanya Thariqah As Salaf (cara/metode salaf)
dan ada juga yang namanya kelompok ‘SALAFIYUN’. Dan yang dituntut adalah mengikuti salaf
(bukan beravilial kepada kelompok salafi). Meski demikian, ikhwah Salafiyun merupakan
kelompok yang paling dekat dengan kebenaran. Hanya saja permasalahan mereka adalah sama
dengan kelompok-kelompok yang lainya; saling menyesatkan satu sama lain, saling
membid’ahkan dan saling memfasikkan”.
Wallahu A’lam bis shawab
Abu Hatim, Lc
Catatan kaki
1. Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jama’ah karya Al Lalikai. Bahkan dalam masalah jihad
Rasulullah saw telah menjadikan sebagai bentuk tamasya umatnya. Seorang lelaki meminta izin
kepada Rasulullah saw untuk bertamasya. Maka beliau bersabda: “Tamasya umatku adalah
jihad di jalan Allah”. (HR. Abu Daud)
2. Anggota Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi dan kitabnya ditulis sejak delapan belas tahun
yang lalu, yaitu pada tahun 1413H
3. Dosen Universitas Islam Madinah dan Direktur Ma’had Ilmi. Dulunya merupakan teman dekat
Syaikh Rabi’ namun akhir-akhir ini beliau kembali kapada jalan yang benar dalam memahami
masalah iman dan mengkritik tajam apa yang ditulis Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Rabi yang
keduanya terjerumus kepada paham murji’ah. Dalam masalah ini Syaikh Falih mendapat pujian
dari Prof. DR. Abdullah bin Abdurrahman Al Jarbu’ ketua Jurusan Akidah Universitas Islam
Madinah
4. Isteri Syaikh Albani memilihkan calon Isteri untuknya dan Syaikh Albani yang menyampaikan
nasehat dalam pernikahannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar