Jumat, 04 Mei 2012

Syariat islam PALSU di Aceh

oleh :
Al-faqir ilallah,
Saifullah Al-Maslul
Pasca terjadinya reformasi, MPR RI mengeluarkan sebuah Ketetapan dengan No. IV tahun 1999
tentang GBHN, yang menegaskan Daerah Istimewa Aceh sebagai Daerah Otonomi Khusus guna
mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni
budaya. Selanjutnya GBHN ini ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah.
Karena Indonesia ini merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus ini harus diatur
berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkanlah UU No.18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini telah
memberi peluang bagi Aceh untuk memberlakukan Syariat Islam. Pemerintah daerah kemudian
menindaklanjutinya dengan pemberlakuan sejumlah Qanun yang berkaitan dengan Syari’at Islam. Di
antaranya, Qanun Nomor 10, Nomor 11, Nomor 12, Nomor 13, dan Nomor 14.
Keppres No.11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Syari’ah Propinsi lahir guna
melaksanakan hukum Islam yang menentukan wewenang dari Mahkamah Syari’ah yang selanjutnya
ditetapkan beberapa Qanun. Pelaksanaan syari’ah oleh Mahkamah Syari’ah diatur dalam Qanun
No.10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam dan Qanun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
Syari’at Islam di bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam yang salah satu ketentuannya adalah
kewajiban berbusana Islami bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qanun tersebut. Kedua
Qanun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai Qanun Formil, sedangkan Qanun Materil
belum disahkan.
Hal ini menunjukkan kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum,
sehingga dalam Qanun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap memberlakukan KUHP
sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Mahkamah Syari’ah tidak sepenuhnya menerapkan
Syari’at Islam di Aceh. Selain itu, yang membuat fatal adalah Qanun ini dikeluarkan di Aceh yang
merupakan wilayah Negara Republik Indonesia sehingga bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Sebagai contoh, didalam Syari’at Islam, orang-orang Islam dan orang-orang kafir mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda. Orang-orang Islam wajib membayar zakat jika telah sampai perhitungannya,
sedangkan orang-orang kafir wajib membayar jizyah, yaitu pajak per kepala yang dipungut sebagai
imbangan bagi keamanan diri mereka, dan setelah itu mereka wajib tunduk terhadap Syari’at Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (Qs. At-
Taubah : 29)
Dengan hal ini maka orang-orang kafir tersebut bisa merasakan keadilan dari Syari’at Islam karena
mereka telah hidup dibawahnya, sehingga diharapkan mereka tertarik untuk masuk kedalam agama
Islam dan akhirnya akan selamat dari kekafiran yang membinasakan.
Namun hal ini tidak akan mungkin dilakukan oleh Pemerintah Aceh karena bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Di dalam Pancasila dan UUD 1945 orang-orang Islam dan orang-orang kafir
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana didalam sila II butir I
dikatakan : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar
sesama manusia”. Dan juga sebagaimana didalam UUD 1945 Bab X pasal 27 ayat (1) : ”Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kita bisa melihat pada realita yang terjadi, bagaimana Pemerintah Aceh mewajibkan pajak bagi
seluruh manusia, sedangkan zakat hanya bersifat sukarela. Jika ada yang tidak membayar pajak,
maka dia akan mendapatkan hukuman, adapun jika ada yang tidak membayar zakat (yang sudah
sampai perhitungannya), maka hal itu tidaklah mengapa. Maka Syari’at Islam apa yang tidak
diwajibkan zakat didalamnya???!!!
Bahkan tidak cukup sampai disitu. Jika didalam Syari’at Islam yang sebenarnya orang-orang kafir
diwajibkan membayar pajak dan tunduk dibawah Syari’at Islam, maka didalam “Syari’at Islam” yang
sedang berlaku di Aceh ini, keadaan telah menjadi terbalik. Umat Islam disamping diwajibkan
membayar pajak, juga diwajibkan untuk tunduk kepada Syari’at Demokrasi. Padahal kita telah
mengetahui bahwa pada hakikatnya Demokrasi adalah sebuah agama yang diciptakan oleh orang-
orang kafir, yang mana tujuan mereka menciptakan agama Demokrasi ini adalah untuk membangkang
dari aturan Tuhan.
Demikian pula didalam permasalahan Riba. Walaupun Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah sangat jelas
mengharamkan riba didalam firman-Nya :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Qs. Al-Baqarah : 275)
Akan tetapi syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah tentang pengharaman riba ini tidak akan mungkin
diberlakukan di Aceh, karena ekonomi yang berjalan di Indonesia adalah ekonomi yang menggunakan
sistem riba, sehingga di Aceh juga harus menyesuaikan dengan sistem yang berlaku.
Jadi didalam ”Syari’at Islam” yang sedang berlaku di Aceh, kekuasaan Allah masih berada dibawah
kekuasaan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman :
“Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya”. (Qs. Al-An’am : 61)
Akan tetapi menurut Pemerintah Aceh : ”Pancasila dan UUD 1945- lah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi”.
Contoh lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :\
“Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam sangat menjaga agar pemeluknya jangan sampai ada yang murtad, karena kehidupan yang
sebenarnya adalah kehidupan akhirat, sedangkan kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan
sementara. Orang-orang yang mati dalam keadaan beriman, maka dia akan mendapatkan surga.
Sedangkan orang-orang yang mati dalam keadaan kafir maka dia akan kekal di neraka. Maka, oleh
karena kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuat sebuah
peraturan yang tegas didalam hal ini, yaitu memberikan hukuman mati bagi siapa saja yang murtad
dari Islam. Sehingga dengan hal ini diharapkan umat Islam akan takut untuk murtad. Inilah makna
Rahmatan Lil ’Alamin, yaitu Syari’at menjaga agar manusia hidup dan mati dalam keadaan beriman
yang akan membawa kepada keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Akan tetapi hal ini tidak akan mungkin diterapkan oleh Pemerintah Aceh, karena bertentangan dengan
Pancasila, sila I butir II yang mana dikatakan : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.
Dan juga bertentangan dengan UUD 1945 Bab XI pasal 29 ayat (2) yang berbunyi : “ Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Didalam Pancasila dan UUD 1945, seluruh manusia dibebaskan untuk berganti-ganti agama. Hal ini
berarti membuka pintu kemurtadan selebar-lebarnya. Dan kita bisa melihat bagaimana saat ini para
missionaris di Aceh sangat gencar dan sangat bebas melaksanakan misinya untuk memurtadkan
rakyat Aceh.
Jadi, didalam Syari’at Islam palsu yang sedang berlaku di Aceh, ketetapan Allah dan Rasul-Nya harus
tunduk oleh ketetapan Pancasila dan UUD 1945, padahal Allah Ta’ala telah berfirman :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka”. (Qs. Al-Ahzab : 36)
Akan tetapi menurut Pemerintah Aceh : ”Dan tidaklah patut bagi Allah dan Rasul-Nya, apabila
Pancasila dan UUD 1945 telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain”.
Dan hal ini sudah terbukti ketika pada tahun 2006 yang lalu 56 anggota DPR RI mengajukan petisi
untuk mencabut semua Perda yang bernuansa Syari’at Islam. Pimpinan DPR RI didesak agar segera
menyurati Presiden sehubungan dengan masalah itu. Dalam pandangan ke-56 anggota DPR RI
tersebut, Perda-Perda Syari’at telah melanggar dan bertentangan dengan prinsip Konstitusi dan
Pancasila. [Majalah Hidayatullah Edisi 3 / XIX Juli 2006, Jumadits Tsani 1427]
Namun mungkin saja Pemerintah Aceh akan berdalih dengan mengatakan : ”Kita akan menerapkan
Syari’at Islam secara bertahap, dan ini akan membutuhkan waktu yang sangat panjang”.
Pemerintah dalam hal ini telah berdusta, karena sebagaimana yang telah disebutkan diatas,
pemerintah tidak boleh menerapkan Syari’at Islam yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.
Disamping itu, kita tanyakan juga pada Pemerintah Aceh : Adakah diantara Khulafaur Rasyidin (Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib)---yang mana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai mereka : ”Ikutilah sunnahku dan sunnah
khulafaur rasyidin sesudahku”,---ketika mereka memerintah berani menerapkan Syari’at Islam secara
bertahap ?? Perhatikanlah sikap para Sahabat yang mana Allah berfirman tentang mereka :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya selama-lamanya”. (Qs. At-Taubah : 100)
Inilah ulamanya Sahabat, Imamut Tafsir ‘Abdullah bin ‘Abbas, ketika beliau berkata : “Hampir kalian
ditimpa hujan batu dari langit, aku menuturkan : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam”, akan tetapi kalian mengatakan : “Kata Abu Bakar dan Umar”.
Ucapan ini dari Ibnu ‘Abbas sebagai jawaban atas orang-orang yang berkata padanya :
“Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak berpendapat adanya Tamattu’ dengan berumrah sampai
haji, dan keduanya berpendapat bahwa haji Ifrad lebih utama”, atau yang searti dengan ini.
Sementara Ibnu Abbas berpendapat bahwa Tamattu’ dengan umrah sampai haji adalah wajib. Ia
berkata : “Jika dia berthawaf di Ka’bah dan bersa’i antara Shafa dan Marwah tujuh kali keliling, maka
ia telah lepas dari umrahnya, mau tidak mau”. Karena ada hadits Suraqah bin Malik ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh para Sahabat supaya mereka menjadikan-nya umrah dan
tahallul bila telah thawaf di Ka’bah dan bersa’i antara Shafa dan Marwah. Suraqah berkata : “Wahai
Rasulullah, apakah ini untuk tahun ini atau untuk selamanya?”. Beliau menjawab : “Untuk selama-
lamanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka perhatikanlah bagaimana sikap seorang Sahabat yang Agung (‘Abdullah bin ‘Abbas) yang
menentang keras orang-orang yang lebih mendahulukan perkataan Abu Bakar dan Umar daripada
perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal kita semua mengetahui keutamaan mereka
berdua –Radhiyallahu ‘anhuma-. Jika demikian, bagaimana dengan Pemerintah yang lebih
mendahulukan Pancasila dan UUD 1945 daripada Allah dan Rasul-Nya??
Lalu perhatikan pula bagaimana pendapat para Imam Madzhab yang empat dalam menyikapi hal
ini :
Imam Abu Hanifah berkata : “Jika aku mengatakan suatu perkataan sedang Kitabullah menentangnya,
maka tinggalkanlah perkataanku karena Kitabullah”. Dikatakan : “Jika sabda Rasulullah yang
menentangnya?”. Beliau berkata : “Tinggalkanlah perkataanku karena sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam“. Dikatakan : “Jika perkataan Sahabat yang menentangnya?”. Beliau berkata :
“Tinggalkanlah perkataanku karena perkataan Sahabat”.
Sedangkan menurut Pemerintah Aceh : “Tinggalkanlah jika ada Syari’at Islam yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945”.
Imam Malik bin Anas berkata : “Tidak ada seorangpun dari kita kecuali ucapannya boleh diterima dan
ditolak kecuali penghuni kuburan ini (yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam)”.
Sedangkan menurut Pemerintah Aceh : “Tidak ada seorangpun dari kita kecuali ucapannya boleh
diterima dan ditolak kecuali Pancasila dan UUD 1945”.
Imam Asy-Syafi’i berkata : “Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah
apa yang aku katakan”.
Sedangkan menurut Pemerintah Aceh : “Jika kalian menemukan dalam Kitab Allah (Syari’at Islam)
sesuatu yang berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka ambillah Pancasila dan UUD 1945
dan tinggalkanlah Syari’at Islam”.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku merasa heran dengan orang-orang yang mengetahui
isnad Hadits dan keshahihannya, tapi mereka menjadikan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) sebagai
acuannya, padahal Allah Ta’ala telah berfirman : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih”. (Qs. An-Nuur :
63). Tahukah kamu apa pengertian fitnah disini ? yaitu Syirik. Bisa jadi bila dia menolak sabda beliau,
akan terjadi suatu kesesatan, sehingga celakalah dia”.
Sungguh benar Imam Ahmad, Celakalah Pemerintah Aceh jika menolak ayat-ayat Allah dan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (Yaitu) orang-
orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar
kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah
mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”. (Qs. Al-Mu’min : 34-35)
Dalam hal ini Pemerintah Aceh ingin memposisikan dirinya seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang menerima syari’at Islam secara bertahap. Dan banyak dari umat Islam yang sudah
tertipu dengan hal ini. Padahal kita semua telah mengetahui bahwa Islam telah sampai kepada kita
secara sempurna dan paripurna, maka tidak boleh menerapkannya secara bertahap atau
menerapkan sebagiannya dengan meninggalkan sebagian lainnya atau memilih-milih yang sesuai
dengan kondisi dan melalaikan yang tidak sesuai dengan kondisi jika masih mungkin untuk
diterapkan. Sesungguhnya Islam yang hari ini ada di hadapan kita berbeda dengan Islam sebelum
turunnya firman Allah Ta’ala :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan dien kalian untuk kalian, dan Aku sempurnakan untuk kalian
nikmat-Ku dan Aku telah ridha Islam sebagai dien kalian”. (Qs. Al-Maaidah : 3)
Berkata Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidak
seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya melainkan beliau telah menerangkan
ilmunya kepada kami”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Tidak tinggal sesuatupun
yang mendekatkan kamu ke surga dan menjauhkan kamu dari neraka, melainkan sesungguhnya telah
dijelaskan kepada kamu”.
Dan dari Mutthalib bin Hanthab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda : “Tidak aku tinggalkan sesuatupun juga apa-apa yang telah Allah
perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya telah aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak
aku tinggalkan kepada kamu sesuatupun juga apa-apa yang telah Allah larang kamu
(mengerjakannya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu (mengerjakannya)”.
Sebenarnya hal ini dilakukan oleh Pemerintah Aceh ---Wallahu A’lam--- adalah karena jika Syari’at
Islam diterapkan secara sempurna akan banyak sekali bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu jika Syari’at Islam diterapkan secara bertahap akan mudah bagi Pemerintah Aceh
untuk menyeleksi dan tidak menerapkan kandungan Syari’at Islam yang bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Sehingga Syari’at Islam akan berjalan tanpa bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Jadi, bagi Pemerintah Aceh bukannya Pancasila dan UUD 1945 yang harus mengikuti Allah dan Rasul-
Nya, akan tetapi Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang harus mengikuti Pancasila dan
UUD 1945.
Dahulu, pernah suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam marah besar karena melihat ’Umar
masih membawa-bawa dan mempelajari Taurat, kemudian beliau bersabda :
“Seandainya Musa turun dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku pastilah kalian
tersesat”. (HR. Ahmad)
Perhatikanlah...!!! Padahal yang dipelajari oleh ’Umar itu adalah kitab Taurat yang merupakan kitab
Allah juga, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melarangnya. Bahkan jika Nabi Musa
turun pada saat itu, maka tidak ada pilihan lain baginya selain mengikuti ketetapan yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika demikian, siapakah sebenarnya Pemerintah ini yang lebih
mendahulukan Pancasila dan UUD 1945 daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah..??!!
Pada intinya, Pemerintah bersedia menerapkan Syari’at Islam asalkan tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Setiap syari’at Islam yang tidak sesuai dengan kandungan Pancasila dan
UUD 1945 maka tidak akan diterima dan tidak akan diterapkan.
”Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka
persekutukan (dengan-Nya)”. (Qs. An-Naml : 63)
Jika hal ini telah jelas bagi kita, maka saat ini timbul sebuah pertanyaan. Metode siapakah
sebenarnya yang diambil oleh pemerintah dalam menerapkan ”Syari’at Islam”–nya ??? Perhatikanlah
firman Allah Ta’ala berikut :
“Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan)
kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : "Kami telah
beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang
Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-
perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan
(Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan : "Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah
oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah".
Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu
menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak
hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar”. (Qs. Al-Maaidah : 41)
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang yahudi yang berzina. Mereka mengubah kitab Allah
yang ada di tangan mereka yang didalamnya terdapat perintah rajam bagi pezina muhshon. Lalu
mereka merubah perintah tersebut dan membuat hukum sendiri di antara mereka, yaitu menjadi
cambuk seratus kali, pencorengan muka (dengan arang), dan menaikkan pelaku diatas keledai dengan
menghadap kebelakang. Maka ketika peristiwa tersebut terjadi, yaitu setelah hijrah, mereka berkata
kepada kalangan mereka sendiri : “Marilah kita berhukum kepadanya (maksudnya Rasulullah). Jika ia
memutuskan hukum cambuk dan pencorengan muka, terimalah keputusan itu darinya. Jadikanlah hal
itu sebagai alasan antara kalian dan Allah, bahwa ada salah seorang Nabi Allah yang telah
menetapkan hal itu diantara kalian. Namun jika ia memutuskan dengan hukuman rajam, janganlah
kalian mengikutinya”.
Didalam Tafsirnya, Al-Imam Ibnu Katsir berkata : “Ayat yang mulia diatas diturunkan berkenaan
dengan orang-orang yang segera menuju kepada kekafiran, keluar dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Yaitu orang-orang yang mengutamakan pendapat dan hawa nafsu mereka sendiri atas
Syari’at Allah Ta’ala. {“Yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka : “kami
telah beriman”. Padahal hati mereka belum beriman”}. Maksudnya, mereka menampakkan keimanan
melalui lisannya, padahal hati mereka rusak, lagi hampa dari keimanan, mereka itu adalah orang-
orang munafik”.
Didalam ayat ini dan sebab turunnya, terdapat persamaan antara apa yang dilakukan oleh Yahudi dan
apa yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh :
1. Orang-orang Yahudi dan Pemerintah sama-sama mengakui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
sebagai Nabi Allah.
2. Orang-orang Yahudi ingin berhukum kepada Rasulullah, namun di sisi lain mereka juga telah
membuat hukum sendiri, oleh karena itu mereka hanya mau menerima hukum dari Rasulullah jika
tidak bertentangan dengan hukum buatan mereka, dan hal ini sama persis dengan apa yang dilakukan
oleh Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh juga ingin berhukum kepada Syari’at Islam yang dibawa oleh
Rasulullah, namun mereka juga telah mempunyai hukum sendiri yaitu Pancasila dan UUD 1945, oleh
karena itu Pemerintah hanya bersedia menerima Syari’at Islam yang tidak bertentangan dengan
kandungan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
3. Pemerintah juga mengatakan dengan lisan mereka berkali-kali bahwa mereka adalah orang-orang
yang beriman, sama persis dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Namun sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Katsir : “Mereka menampakkan keimanan melalui lisannya,
padahal hati mereka rusak, lagi hampa dari keimanan, mereka itu adalah orang-orang munafik”. Dan
mereka juga adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Katsir, yaitu : “Orang-orang yang
segera menuju kepada kekafiran, keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Dan mari kita lihat kembali lanjutan dari ayat yang mulia diatas :
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai
Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari
putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman”. (Qs. Al-Maaidah : 43)
Perhatikanlah, bagaimana Pemerintah dalam hal ini kembali mengikuti jalan orang-orang Yahudi...!!
Ya, bagaimana mungkin Pemerintah mengangkat Pancasila dan UUD 1945 menjadi sumber segala
sumber hukum, padahal mereka mempunyai Al-Qur’an yang didalamnya ada hukum Allah??
“Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman”. (Qs. Al-Maaidah : 43)
Allah juga berfirman mengenai orang-orang Yahudi :
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Qs. Al-Baqarah : 85)
Didalam ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang Yahudi beriman kepada sebahagian
kitab Taurat dan ingkar terhadap sebahagian yang lain. Hal ini sama dengan Pemerintah Aceh yang
menerima sebahagian Syari’at Allah (yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945) dan
ingkar terhadap sebahagian Syari’at Allah (yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945).
Sedangkan ini merupakan perbuatan yang pelakunya dihukumi kafir oleh Allah, sebagaimana didalam
firman-Nya :
“Dan mengatakan : “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami ingkar terhadap sebahagian
(yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang
demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya”. (Qs. An-Nisa’ :
150-151)
Ya...!! Sungguh dalam hal ini Pemerintah telah mengikuti jalan orang-orang Yahudi.
Namun seandainya kita menerima bahwa Pemerintah Aceh memang ingin menerapkan Syari’at Islam
secara keseluruhan, akan tetapi hal ini tetap tidak bisa diterima. Karena Pemerintah Aceh tidak akan
bisa menerapkan Syari’at Islam sebelum hukum tersebut mendapatkan pengesahan dari DPRD. Jadi
dalam hal ini, Pemerintah telah menempatkan posisi DPRD diatas posisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Pernah suatu ketika ada seorang kakek dari daerah Sumatera Barat datang ke Aceh karena mendapat
kabar bahwa di Aceh telah diterapkan Syari’at Islam. Kakek tersebut terus-menerus teringat akan
dosanya dimasa lalu yang telah berzina dan dia meminta agar dirinya dihukum rajam. Akhirnya
diapun mendatangi Kantor Dinas Syari’at Islam Prov. NAD dan bertemu dengan Kepala Dinas
tersebut ---pada saat itu--- yang bernama Alyasa Abu Bakar. Namun setelah mengetahui maksud
tujuan si kakek, Kepala Dinas tersebut ---dengan sangat meyakinkan dan dimuat di salah satu surat
kabar di Aceh yaitu Harian Serambi Indonesia--- berkata : ”Hukum rajam tidak bisa dilaksanakan
karena belum disahkan oleh DPRD”.
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Perhatikanlah kesombongan yang besar ini.
Mari kita lihat kelanjutan dari kisah sebab turunnya ayat diatas (Qs. Al-Maaidah : 41-44). Malik
meriwayatkan dari Naafi’, ia dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan : ”Sesungguhnya orang-orang Yahudi
datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka menceritakan kepada beliau
bahwa ada seorang laki-laki dan seorang perempuan di antara mereka berzina. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka : “Apa yang kalian dapatkan dalam taurat
tentang zina?”. Mereka menjawab : ”Kami pertontonkan mereka dan dicambuk”. ‘Abdullah bin Salam
berkata : ”Kalian dusta, sesungguhnya di dalam taurat disebutkan rajam”.
Lalu mereka mendatangkan taurat dan menyebarkannya. Lalu salah seorang di antara mereka
meletakkan tangannya di atas ayat rajam, kemudian ia membaca yang sebelum dan yang
sesudahnya. Maka ‘Abdullah bin Salam mengatakan kepadanya : ”Angkatlah tanganmu!”. Maka ia
mengangkat tangannya dan ternyata itu adalah ayat rajam. Lalu mereka mengatakan : ”Ia benar wahai
Muhammad, di dalamnya ada ayat rajam”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk merajam keduanya, maka keduanyapun dirajam. Lalu saya melihat laki-laki
tersebut memiringkan badannya untuk melindungi perempuan tersebut dari batu”. Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan menggunakan lafadh Al-Bukhari.
Sedangkan dalam riwayat Muslim berbunyi : “Bahwasanya didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam seorang laki-laki yahudi dan seorang perempuan yahudi yang berzina, lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi sampai datang orang-orang yahudi. Maka beliau bertanya kepada
mereka : “Apa hukuman yang kalian dapatkan dalam taurat terhadap orang yang berzina?“. Mereka
menjawab : “Kami hitamkan wajah keduanya lalu kami angkat keduanya lalu kami hadapkan kedua
wajahnya secara berlawanan dan lalu kami kelilingkan keduanya”. Beliau bersabda : “Datangkanlah
taurat lalu bacalah jika kalian memang benar”.
Maka merekapun mendatangkannya lalu membacanya. Hingga ketika sampai ayat rajam, pemuda
yang membaca taurat tersebut meletakkan tangannya. Maka ‘Abdullah bin Salam ---sedangkan dia
bersama Rasulullah--- mengatakan kepadanya : “Suruh dia agar mengangkat tangannya”. Maka iapun
mengangkat tangannya, dan ternyata dibawahnya terdapat ayat rajam maka Rasulullah pun
memerintahkan untuk merajam keduanya, sehingga keduanyapun dirajam. ‘Abdullah bin ‘Umar
mengatakan : “Aku termasuk orang yang ikut merajam, dan saya melihat dia melindungi perempuan
tersebut dari batu dengan dirinya”.
Dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Azib, ia mengatakan : “Seorang yahudi yang telah
dihitamkan dan dicambuk dilewatkan dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil mereka dan bertanya : “Apakah seperti ini
hukuman bagi orang yang berzina yang kalian dapatkan dalam taurat?”. Mereka menjawab : ”Ya”.
Maka beliau memanggil salah seorang ulama mereka, lalu mengatakan kepadanya : “Aku
menyumpahmu atas nama Dzat yang menurunkan taurat kepada Musa, apakah begini hukuman bagi
orang yang berzina yang kalian dapatkan dalam kitab kalian?”. Maka dia menjawab : ”Demi Allah
tidak, dan kalau bukan karena engkau menyumpahku tentu aku tidak akan memberitahukannya
kepadamu. Kami mendapatkan hukuman bagi orang yang berzina adalah rajam. Akan tetapi karena
hal ini sering terjadi pada pemuka-pemuka kami. Padahal kami apabila yang melakukan pelanggaran
seorang pemuka maka kami biarkan dan apabila yang melakukan pelanggaran itu seorang yang
lemah, maka kami laksanakan hukuman. Maka kamipun mengatakan : ”Mari kita membuat hukuman
yang kita berlakukan untuk orang yang mulia maupun orang yang rendah.” Maka kami bersepakat
untuk menghitamkan dan mencambuk”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ya
Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali menghidupkan perintah-Mu ketika mereka
mematikannya”. Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya.
Perhatikanlah bagaimana ketundukan dan kepatuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
hukum Allah. Ketika beliau mengetahui bahwa hukum Allah untuk kasus tersebut adalah hukum rajam,
maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam segera memerintahkan orang-orang untuk melaksanakan
hukum tersebut. Sungguh tidak ada sedikitpun keberanian dari diri beliau untuk merasa berhak
mengesahkan hukum Allah.
Jika demikian, siapakah Pemerintah Aceh yang merasa berhak mengesahkan hukum Allah ini jika
dibandingkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ??
Siapakah sebenarnya Pemerintah Aceh ini yang merasa berhak untuk mengesahkan hukum Allah???
Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saja tidak pernah
berani mengesahkan apa yang telah Allah tetapkan/syari’atkan??? Apakah Pemerintah Aceh merasa
lebih tinggi kedudukannya dari Allah sehingga mereka merasa berhak mengesahkan Hukum Allah???
Wahai Pemerintah Aceh, siapakah kalian ini sehingga hukum Allah tidak bisa dilaksanakan sebelum
mendapatkan pengesahan dari kalian??? Siapa Allah dan siapa kalian??? Apakah kalian merasa lebih
tinggi dari Allah???
”Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka
persekutukan (dengan-Nya)”. (Qs. An-Naml : 63)
Dan untuk menutup pembahasan ini, mari perhatikan firman Allah Ta’ala berikut :
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu dikatakannya ; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka
kerjakan”. (Qs. Al-Baqarah : 79)
Az-Zuhri menceritakan, Ubaidillah bin Abdillah memberitahuku, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “Wahai
kaum muslimin, bagaimana mungkin kalian menanyakan sesuatu pada ahlul kitab, sedangkan Kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya merupakan berita Allah yang paling aktual yang apabila kalian
membacanya tidak membosankan. Dan Allah telah memberitahu kalian bahwa Ahlul Kitab telah
mengganti Kitab Allah dan mengubahnya serta menulis Kitab baru dengan tangan mereka sendiri, lalu
mereka mengatakan bahwa kitab itu berasal dari Allah dengan maksud agar mereka dapat
menjualnya dengan harga yang murah”.
Maha suci Allah yang telah membongkar hakikat dari Syari’at Islam yang berlaku di Aceh saat ini.
Perhatikanlah kembali kesesuaian Pemerintah Aceh dan orang-orang Yahudi. Untuk menjalankan
Syari’at Islam palsunya, Pemerintah telah menyusun sebuah kitab yang diberi nama “QANUN”, yang
didalamnya berisi hukum-hukum yang sebagiannya berasal dari Islam dan sebagian lagi berasal dari
luar Islam. “QANUN” ini tidak akan bisa berlaku sebelum mendapatkan pengesahan. Dan hal ini
sangatlah jelas, bahwa “QANUN” ini adalah kitab yang berasal dari Pemerintah, bukan kitab yang
berasal dari Allah. Walaupun didalamnya terdapat sebagian hukum Allah, namun “QANUN” tetaplah
kitab Pemerintah, karena kitab Allah adalah Al-Qur’anul ‘Adhim yang tidak pernah memerlukan
pengesahan dari siapapun.
Lalu apakah itu “QANUN”? Didalam UU No. 18 Th. 2001 disebutkan : “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi khusus”.
Jadi inilah “QANUN”, yaitu Peraturan Daerah.
Dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan
bahwa jenis dan susunan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah :
a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Dalam Pasal 12 RUU tersebut, ditegaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Jadi inilah hakikat sebenarnya “QANUN” yang di klaim oleh Pemerintah sebagai Syari’at Islam, yaitu
sebuah Peraturan Daerah yang dibentuk untuk melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Sedangkan peraturan perundang-undangan tertinggi adalah Pancasila dan UUD 1945, yang
mana isinya sangat banyak yang bertentangan dengan hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dan untuk lebih memperjelas lagi hal ini bagi kita semua, ada baiknya kita sedikit mengupas “QANUN
ACEH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN QANUN”.
Didalam Bab I Pasal 1 ayat (16) disebutkan : “Materi muatan Qanun adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/otonomi khusus dan tugas pembantuan, serta
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi”.
Perhatikanlah, disini disebutkan bahwa materi muatan Qanun adalah penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bukan penjabaran dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang merupakan sumber hukum dalam Syari’at Islam. Jika demikian Syari’at Islam apa yang yang
dimaksud oleh Pemerintah Aceh???!!!
Kemudian dalam Bab II pasal 2 ayat (2) disebutkan : “Pembentukan Qanun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan :
a. Syari’at Islam;
b. Kepentingan Umum;
c. Qanun Lainnya; dan
d. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Perhatikanlah penipuan yang terdapat pada point (a). Disini disebutkan bahwa pembentukan
“QANUN” tidak boleh bertentangan dengan Syari’at Islam. Padahal tadi telah disebutkan bahwa
materi muatan “QANUN” adalah sebagai penjabaran lebih lanjut dari Perundang-undangan yang lebih
tinggi yang mana peraturan tertingginya adalah Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan telah kita ketahui
didalam pembahasan Pancasila dan UUD 1945 dalam Timbangan Hukum Allah bagaimana
pertentangan yang sangat banyak antara Pancasila dan UUD 1945 dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi bagaimana mungkin “QANUN” tidak bertentangan dengan Syari’at Islam ???
“Lihatlah bagaimana mereka telah berdusta kepada diri mereka sendiri”. (Qs. Al-An’am : 24)
Yang sebenarnya adalah pada point (d), yaitu “QANUN” tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, karena demikianlah realita yang terjadi.
Kemudian bagaimana “QANUN” yang diklaim sebagai Syari’at Islam ini dapat terlaksana?? Didalam
Bab VII bagian ke-2 pasal 36 ayat (1) disebutkan : “Rancangan Qanun yang telah disetujui bersama
oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRA/DPRK kepada
Gubernur/bupati/walikota untuk disahkan menjadi Qanun”.
Kemudian pada Bab VII bagian ke-2 pasal 37 ayat (3) disebutkan : “Dalam hal sahnya rancangan
Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi "Qanun ini
dinyatakan sah".
Maka inilah “QANUN”, yaitu kitab “ASLI” buatan Pemerintah, yang mana kitab itu mereka susun
sendiri, kemudian mereka musyawarahkan, lalu mereka sahkan untuk menjadi sebuah peraturan
hidup.
Setelah kita memahami hal ini, maka mari kita perhatikan kembali perkataan Ibnu ‘Abbas
diatas : “Dan Allah telah memberitahu kalian bahwa Ahlul Kitab telah mengganti Kitab Allah
dan mengubahnya serta menulis Kitab baru dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka
mengatakan bahwa kitab itu berasal dari Allah“.
Maha Suci Allah yang telah menerangkan semua ini kepada kita.
Hal ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh yang telah menulis kitab baru
dengan tangan mereka sendiri yang bernama “QANUN”, lalu mereka mengatakan : “Qanun ini adalah
Syari’at Islam yang berasal dari Allah”.
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu dikatakannya ; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka
kerjakan”. (Qs. Al-Baqarah : 79)
Kesimpulannya : Sesungguhnya Syari’at Islam yang berlaku di Aceh adalah Syari’at Islam palsu yang
pada hakikatnya adalah mempermainkan agama Allah. Maka wajib bagi setiap umat Islam untuk
tidak menerima keadaan ini, dan menuntut diberlakukannya Syari’at Islam yang sebenar-benarnya
secara kaffah.
Barangsiapa yang ridha dan rela dengan pemberlakuan Syari'at Islam Palsu ini, maka ia akan ikut
menanggung dosanya. Karena telah ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
dari ’Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai sahabat–sahabat dan penolong-
penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan mengerjakan apa yang
diperintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak
mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang
berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad
dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin.
Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi ”. (HR. Muslim no. 5)
Wallahu a’lam bish shawab...
sumber:acehloen-sayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar