Senin, 14 Mei 2012

SALAFY MURJIAH 2

Antara Flu Burung Dan Flu Murji’ah II
2. Siapa rujukan sang Khatib?
Sang khatib menjadikan DR. Khalid al Anbari sebagai rujukan dalam khutbahnya yaitu dengan
bukunya: Atsar al Qawanin al Wadh’iyah Fil Hukmi ‘Ala ad Daar bil kufri Wal Islam. Jika diteliti
lebih lanjut, Khalid al Anbari merefer karyanya tersebut kepada salah satu kitab karyanya sendiri
yaitu Al Hukmu Bighairi Maa Anzalallah Wa Ushul At Takfir. Yang dalam hal ini Khalid al Anbari
membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka secara otomatis sang ustadz pun
mengekor kepadanya. Lantas Siapakah Khalid al Anbari sehingga sang khatib menjadikannya
sebagai rujukan ? 1. Dia adalah salah satu tokoh Neo Murjiah 2. Sering Berdusta atas nama
ulama; dusta atas nama Syaikh Muhammad Ibrahim Alu as Syaikh, dusta atas nama Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin dll 3. Menafsirkan prnyataan ulama seenaknya 4. Menukil
pendapat yang hanya menguntungkan 5. Mendistorsi dalil-dali syar’i. 6. Tidak amanah dalam
mengutip dalil. 7. Mengatakan Ijma’ bahwa tidak berhukum dengan hukum Allah tidak kafir.
Padahal yang ada adalah sebaliknya, orang yang tidak berhukum dengan hokum Allah adalah
kafir yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama. Masalah tidak berhukum dengan hukum
Allah bisa dilihat dari sisi ‘aqidi dan amali. Prof. DR. Shaleh bin Abdurrahmna Al Mahmud telah
menjelaskan masalah ini dan menjawab syubhat Khalid al Anbari dalam bukunya Al Hukmu
Bighairi Maa Anzalallah Ahwaluhu Wa Ahkamuhu. 8. Memusuhi Komisi Fatwa Ulama Saudi yang
mengeluarkan fatwa bahwa dia berfaham murji’ah. Yang kemudian dia (Khalid al Anbari)
membantah fatwa tersebut dengan judul Al Maqalat al Anbariyah Fir Raddi ‘Ala al Lajnah”. 9.
Pendapatnya yang menyimpang, mendapat perhatian khusus dari Syaikh Shaleh Fauzan.
Sehingga beliau menulis artikel yang dimuat oleh Majalah Ad Dakwah, edisi 1749, 4 Rabi’ al
Akhir 1421H berkaitan dengan kritik atas ideology Khalid al Anbari. 10. Oleh sebab itu Komisi
Fatwa Arab Saudi berkaitan dengan DR. Khalid al Anbari mengeluarkan pernyataan; buku
tersebut dilarang diedarkan, dilarang diperjual belikan, penulisnya harus bertaubat kepada Allah,
hendaknya merujuk dan belajar kepada ulama yang tsiqah agar mereka menjelaskan dimana
kekeliruannya. Orang yang disuruh bertaubat dan belajar kok dijadikan rujukan? Yang ada dhallu
wa adhallu. 3. Antara Ulil Amri Syar’I dan Ulil Amri Versi sang Khatib Di sini perlu kiranya kita
merenungkan pernyataan Syekh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari dalam bukunya “Al Wajiz Fi
Aqidati as Salaf as Shalih (Ahli Sunnaah Wal Jama’ah, hal 169) . Beliau berkata: “Adapun jika
(para penguasa) menihilkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan
yang lain maka mereka telah keluar dari ketaatan kaum muslim dan manusia tidak wajib
mentaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan
keberadaannya ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh keluar darinya. Ulil Amri
berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum
muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan,
memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin
dan memusuhi orang-orang kafir. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan
kaum muslim maka telah hilang darinya hak kepemimpinan. Dan wajib bagi umat (dalam hal ini
diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan)
untuk mencopotnya dan menggantinya dengan yang lain yang punya kapabilitas untuk
merealisasikan tujuan kepemimpinan. Ketika Ahli Sunnah tidak memperbolehkan keluar dari
para pemimpin yang dzalim dan fasik -karena kejahatan dan kedzaliman tidak berarti menyia-
nyiakan agama- maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat
Allah. Kalangan As Salaf As Shalih tidak mengenal istilah pemimpin (Ulil Amri pent-) yang tidak
menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah Ulil Amri. Yang dimaksud
kepemimpinan (Ulil Amri) adalah menegakan agama. Yang namanya Ulil Amri adalah yang
menegakan agama. Kemudian setelah itu bisa disebut ulil amri yang baik atau yang buruk .
Dalam mendefinisikan ulil amri, Ali bin Abi Thalib berkata: “Manusia harus mempunyai
pemimpin baik yang baik maupun yang buruk. Ditanyakan kepadanya; Kami telah tahu yang
dimaksud pemimpin yang baik. Lantas bagaimana dengan maskud pemimpin yang buruk (zalim)
itu? Dijawab; jalanan menjadi aman, ditegakan hudud, musuh diperangi dan Fa’I dibagikan”.(Ibn
Taimiyah, Minhaj as Sunnah, 1/146). Inilah definisi minimal yang namanya Ulil Amri secara
syar’i, jadi tidak cukup yang hanya memiliki teritorial sebagaimana yang diklaim oleh sang
khatib. 4. Mengkritik pemerintah harus dengan sembunyi-sembunyi dan Negri islam Patokannya
Adzan. Dalam masalah ini sebenarnya tidak mutlak harus dengan sembunyi-sembunyi. Abu Said
Al Khudri meriwayatkan hadits yang berbunyi; ﻦﻋ ﻲﺑﺃ ﺪﻴﻌﺳ ﻲﺿﺭ ﻱﺭﺪﺨﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻝﺎﻗ : ﺖﻌﻤﺳ
ﻪﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ ﻝﻮﻘﻳ ﻢﻠﺳﻭ : ﻦﻣ ) ﺍﺮﻜﻨﻣ ﻢﻜﻨﻣ ﻯﺃﺭ ﻩﺪﻴﺑ ﻩﺮﻴﻐﻴﻠﻓ ، ﻥﺈﻓ ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﻪﻧﺎﺴﻠﺒﻓ ، ﻥﺈﻓ
ﻢﻟ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﻪﺒﻠﻘﺒﻓ ، ﻚﻟﺫﻭ ﻒﻌﺿﺃ ( ﻥﺎﻤﻳﻹﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ . ِ Abu Sa’id Al Khudri adalah yang meriwayatkan
hadits tersebut dari Nabi saw. kemudian ketika beliau melihat ada kemunkarang yang dilakukan
salah satu Khalifah pada masa bani Umayah. Yaitu ketika sang Khalifah melakukan khutbah
sebelum melakukan shalat ied terlebih dahulu. Maka Abu Sa’id tidak membiarkan hal itu dan
langsung beliau berdiri dan menegur sang khalifah di depan rakyatnya. Apakah Abu Sa’id keliru?
Atau apakah tidak mengetahui adab mengkritik penguasa? Salah seorang Ahli Hadits Sudan, as
Syaikh al ‘Allamah Musaid Basyir Ali menyatakan dalam ceramahnya ketika ditanya seputar
permasalahan ini; Boleh mengkritik pemerintah secara terang-terangan jika pemerintah
melakukan kemungkaran secara terang-terangan. Dan tidak boleh mengkritiknya secara terang-
terangan jika kemungkaran yang dilakukan tidak secara terang-terangan. Jadi antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya tidak terjadi kontradiktif. Permasalahan patokan suatu negri dikatakan
negri Islam atau bukan, ini adalah permasalahan yang membutuhkan tulisan dan waktu yang
panjang. Ketika Syaikh Musaid ditanya seputar maslah ini, beliau menerangkan bahwa adzan
merupakan salah satu dari sebagaian syi’ar Islam dan bukan satu-satunya untuk menghukumi
sebuah negri menjadi negri islam. Di halaman sebelumnya sebenarnya permasalahan ini sudah
disinggung. Ada kaitannya dengan boleh tidaknya berhukum dengan selain hukum Allah. Dengan
demikian, Kalangan yang membolehkan tidak berhukum dengan hukum Allah dan boleh
menyelisihi sunah nabiNya, maka mereka berpendapat negri tersebut negri Islam. Syaikh Bin
Baz termasuk yang mengatakan bahwa Negara Bahrain adalah Negara kafir ketika masih
dikuasai Prancis meskipun adzan dan shalat tetap diperbolehkan oleh Prancis. Dan perlu
dicatat, yang memiliki teritorial saat itu adalah Bangsa Prancis tetapi Syaikh bin Baz tidak
menghukumi negri tersebut dengan negri Islam. Jadi memiliki territorial, adzan dan shalat belum
cukup dikatakan sebagai negri Islam. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar